Siaran Pers Nomor : 43 /DJPT.1/KOMINFO/IX/2005
SOSIALISASI IMPLEMENTASI KEWAJIBAN PELAYANAN UNIVERSAL (KPU) BIDANG TELEKOMUNIKASI WILAYAH KAWASAN TIMUR INDONESIA TAHUN 2005


  1. Dalam beberapa rapat kerja antara Ditjen Postel dengan Komisi V DPR-RI di Gedung DPR – RI Jakarta, salah satu materi utama yang paling banyak dipertanyakan oleh sebagian besar anggota Komisi V adalah tentang program USO ( Universal Service Obligation ), atau yang lebih dikenal dengan program pembangunan telepon pedesaan. Alasan utama timbulnya sejumlah pertanyaan tersebut adalah karena pemerintah danggap belum optimal dalam melaksanakan pembangunan USO, sementara di sisi lain jumlah desa yang belum memperoleh akses telekomunikasi di seluruh Indonesia masih sangat banyak.
  2. Sesungguhnya pembangunan USO yang telah dilakukan oleh DItjen Postel sejauh ini sudah cukup intensif, meskipun tampak sekilas dari sudut pandang eksternal terkesan belum optimal. Sebagai gambaran, Ditjen Postel telah menyusun program untuk mewujudkan keseluruhan pembangunan USO secara bertahap. Sebagai informasi dapat disampaikan bahwa pada tahun 2003 Ditjen Postel telah membangun sebanyak 3.051 sst di 3.013 desa, sedangkan tahun 2004 telah dibangun sebanyak 2.635 sst di 2.341 desa di seluruh wilayah Indonesia sebagai bagian dari target pembangunan secara keseluruhan yang berjumlah 43.000 desa, seperti yang dicantumkan di dalam Master Plan Pembangunan Kewajiban Universal yang secara fisik selesai pada Tahun 2010 dan dilanjutkan mulai Tahun 2011 untuk pembangunan layanan jasanya agar dapat terintegrasi dengan sektor lainnya.
  3. Secara konseptual, yang dimaksud pembangunan fasilitas telekomunikasi dalam kerangka program USO adalah penyediaan akses informasi minimal 1 (satu) satuan sambungan telepon (sst) untuk desa yang dikategorikan belum siap ( non-mature village ) dan penyediaan aksesmulti-purpose telecentre untuk desa yang dikategorikan sudah siap ( mature village ). Terkait dengan hal tersebut, perlu dipahami bahwa salah satu kendala dalam peningkatan akses telekomunikasi dalam kerangka program pembangunan USO adalah pada masalah keterbatasan anggaran, yang disebabkan karena tingginya tingkat ketergantungan pada dana APBN. Oleh karena itu, maka mulai tahun 2005 ini pembangunan USO tidak lagi mengandalkan dana APBN mengingat Presiden Republik Indonesia pada tannggal 5 Juli 2005 telah menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 27 tahun 2005 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 2000 Tentang Tarif dan Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang berlaku Pada Departemen Perhubungan dan juga Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2005 tentang Tarif dan Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berlaku Pada Departemen Komunikasi dan Infomatika. Khusus untuk Peraturan Pemerintah tersebut antara lain disebutkan bahwa jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) yang berupa kontribusi Kewajiban Pelayanan Universal Telekomunikasi / Universal Service Obligation yang berjumlah sebesar 0,75 % dari pendapatan kotor penyelenggaraan telekomunikasi per tahun.
  4. Latar belakang pemerintah (dalam hal ini Ditjen Postel) untuk melakukan percepatan pemerataan pembangunan penyebaran fasilitas telekomunikasi dalam kerangka program USO adalah semata-mata untuk mendukung program pembangunan dan pengembangan infrastruktur telekomunikasi yang dilakukan oleh para penyelenggara telekomunikasi. Karena secara komersial, para penyelenggara telekomunikasi tentu akan lebih mengutamakan penyediaan fasilitas telekomunikasi (fastel) untuk daerah-daerah perkotaan yang secara ekonomis cukup menguntungkan dari aspek kepentingan perusahaan mereka. Alasan lainnya adalah karena pemerintah tidak dapat memaksakan kehendaknya begitu saja kepada para penyelenggara telekomunikasi untuk melakukan pembangunan fastel di daerah-daerah pedesaan, apa lagi di daerah-daerah pelosok dan terpencil, maka Pemerintah memandang perlu untuk melakukan percepatan pembangunan fastel berdasarkan program USO, dengan konsekuensi para penyelenggara telekomunkasi wajib memberikan dana kontribusi sebesar 0,75 % per tahun dari pendapatan kotor mereka yang langsung disetor ke Kas Negara.
  5. Adanya kejelasan besaran alokasi dana program USO melalui kontribusi para penyelenggara telekomunikasi yang jumlahnya jauh lebih besar dari dana APBN, diharapkan dapat memicu akselerasi pembangunan USO pada puluhan ribu desa terpenci yang masih belum memperoleh akses telekomunikasi. Sebagai perbandingan, untuk pembangunan USO pada tahun 2003 didukung dana APBN sebesar kurang lebih Rp 45 Milyar, sedang pada tahun 2004 sebesar kurang lebih Rp 43,5 Milyar (sesungguhnya dana yang teralokasikan juga sebesar Rp 45 Mulyar, namun sebagian kecil diantaranya digunakan untuk management consultation). Sedangkan seandainya mengandalkan kontribusi USO dari para penyelenggara, maka mulai tahun 2005 ini diharapkan sudah dapat dialokasikan dana sebesar kurang lebih Rp 290 Milyar, sedang tahun 2006 sebesar kurang lebih Rp 322 Milyar, atau terjadi peningkatan dana kontribusi USO per tahun sekitar 10 %. Dengan suatu catatan bahwa besar kecilnya kontribusi USO tersebut sangat tergantung pada fluktuasi pendapatan kotor penyelenggara telekomunikasi per tahun. Dalam arti, bila seluruh perkiraan tersebut akan terus berlangsung sesuai dengan yang direncanakan, maka paling lambat sebelum tahun 2015 seluruh desa di Indonesia sudah dapat terjangkau/tersedia akses telekomunikasi.
  6. Sejalan dengan terbitnya Peraturan Pemeruntah Nomor 28 Tahun 2005 tersebut, Pemerintah (Ditjen Postel) telah melaksanakan berbagai langkah antisipasi. Di antaranya adalah segera menyusun Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika yang mengatur tata cara dan penggunaan kontribusi tersebut. Disamping itu, mulai tahun 2005 ini rencana pembangunan USO mengacu pada teknologi IP Base. Artinya, jika dua tahun sebelumnya yang lebih diutamakan adalah orientasi peningkatan penetrasi dimana 1 desa dibangun 1 sst, maka pada tahun 2005 dan tahun-tahun selanjutnya lebih dititik beratkan pada peningkatan teledensitas dan tetap diikuti dengan pola pengembangan penetrasi, dimana untuk pembangunan 1 sst dapat digunakan untuk minimal 1 desa. Pada dasarnya pembagunan telekomunikasi pedesaan diarahkan kepada wilayah pedesaan yang belum terjangkau jaringan telekomunikasi (jaringan kabel) yang pada saat ini terdapat di 43.000 desa dari sekitar 70.921 desa.
  7. Ditjen Postel sangat concern dan menginginkan pembangunan fastel dalam kerangka program USO ini dapat berlangsung dengan baik, serta dilaksanakan secara transparan dan terbuka berdasarkan proses tender yang tetap responsive terhadap berbagai kritikan yang ada. Disamping itu, titik-titik lokasi yang diprioritaskan untuk dibangun fastel akan lebih selektif agar kegunaannya dirasakan lebih nyata oleh masyarakat. Karena pada kurun waktu lima tahun terhitung setelah masa pembangunan, Ditjen Postel akan menghibahkan fastel yang telah dibangun kepada seluruh pemerintah daerah (Pemda) yang memperoleh program USO, termasuk pengelolaan dan pemeliharaan fastel tersebut (melalui mekanisme ketentuan yang berlaku), dengan ketentuan bahwa fastel yang dihibahkan tersebut harus dipelihara dengan baik dan dikelola secara komersial untuk kepentingan swadana pembiayaan, serta kesanggupan dari Pemda setempat untuk menanganinya. Dengan demikian, Ditjen Postel tidak akan menyerahkan begitu saja fastel yang telah dibangun.
  8. Prioritas utama pembangunan USO tetap diarahkan untuk kepentingan di luar Jawa terlebih dahulu, khususnya di daerah-daerah pelosok dan perbatasan. Meskipun demikian, dalam skala dan urgensi tertentu pembangunan di Jawa juga tetap memperoleh perhatian mengingat di Jawa sendiri masih terdapat sejumlah wilayah yang terisolir dan memerlukan ketersediaan akses untuk bertelekomunikasi, serta untuk mendukung pembangunan infrastruktur secara lebih luas. Dalam konteks demikian, maka pada tanggal 21 – 22 September 2005, Dirjen Postel akan menyelenggarakan sosialisasi dan coklit data rencana pembangunan USO di Makassar, Provinsi Sulawesi-Selatan.
  9. Sebagai konsekuensi logis dari keinginan meningkatkan manfaat dari program USO, maka Ditjen Postel sedang mempertimbangkan kemungkinan adanya peningkatan status entitas yang bertanggungjawab/berwenang dalam menangani kegiatan tersebut. Sejauh ini kewenangan tersebut dilaksanakan oleh unit kerja setingkat Sub Direktorat pada Direktorat Telekomunikasi Ditjen Postel. Namun untuk ke depan nantinya tidak tertutup kemungkinan unit kerja tersebut harus ditingkatkan statusnya untuk merespon tingkat percepatan pencapaian target, khususnya setelah terbitnya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor : 28 Tahun 2005. Format ideal yang mungkin bisa dicontoh adalah dengan peningkatan status unit kerja yang menangani USO dari Sub Direktorat menjadi Direktorat tersendiri, dan selanjutnya dimungkinkan pula menjadi suatau Badan layanan Umum yang khusus membidangi pelaksanaan USO, baik aspek pembangunan, pengoperasian, pemeliharaan dan pendanannya. Dampak positif dari peningkatan kelembagaan tersebut, diantaranya dapat mempermudah koordinasi baik secara internal (di jaran Depkominfo cq. Ditjen Postel) maupun eksternal (dengan instansi/departemen terkait), termasuk dalam berhubungan dengan Pemda terkait. Keinginan Ditjen Postel untuk meningkatkan status unit kerja yang menangani program USO ini, pada dasarnya sudah diantisipasi melalui akan diterapkannya sistem informasi manajemen USO dan Data Base Wilayah USO (SIM USO) yang berfungsi sebagai pemantau bagi perkembangan pengoperasian dan perangkat USO.
Banner `Layanan Ditjen SDPPI`
Banner `SDPPI Digital Assitant`
Banner `SDPPI Maps`
Banner `IFaS Fest 2023`