Undang-undang Cipta Kerja Landasan Kuat infrastruktur Telekomunikasi

“Pemerintah tidak tinggal diam dan  sudah memasukkan  hal-hal  krusial dalam Undang-undang Cipta Kerja yang sudah ditandatangani  Presiden Jokowi,” kata  Direktur Jenderal Sumber Daya dan Perangkat Pos dan Informatika (Dirjen SDPPI) Ismail pada acara Berita Satu New Normal, Jumat (19/02/2021).

Jakarta (SDPPI) – Regulasi merupakan komponen penting dalam membangun infrastruktur, karena memberikan kepastian hukum jangka panjang bagi investasi Pos, Telekomunikasi dan Penyiaran di Indonesia.

Undang-undang Cipta Kerja merupakan landasan regulasi yang kuat untuk Indonesia berlari lebih cepat dalam mempersiapkan infrastruktur telekomunikasi. “Pemerintah tidak tinggal diam dan sudah memasukkan hal-hal krusial dalam Undang-undang Cipta Kerja yang sudah ditandatangani Presiden Jokowi,” kata Direktur Jenderal Sumber Daya dan Perangkat Pos dan Informatika (Dirjen SDPPI) Ismail pada acara Berita Satu New Normal, Jumat (19/02/2021).

Ismail menjelaskan bukan banyaknya regulasi, melainkan kualitasnya. Makin banyak diatur, belum tentu lebih baik. “Yang penting regulasi itu dapat memberikan suatu koridor dan akselerasi. ini filosofi dasar kita, regulasi bukan banyaknya pasal, tapi memberikan ruang akselerasi agar pembangunan infrastrukrur lebih cepat dan bersinergi dalam tatanan perkembangan teknologi yang berubah sangat cepat,” urainya.

Selain itu, ada beberapa hal penting dalam Undang-undang Cipta Kerja. Seperti memberikan ruang untuk dapat berbagi, mulai dari infrastruktur pasif maupun aktif, yang sudah dilandasi cukup kuat dalam Undang-undang Cipta Kerja.

Teknologi 5G membutuhkan frekuensi yang sangat besar untuk optimalisasi pemafaatan layanannya. Frekuensi yang tersedia, kalau bisa sharing, membuat operator tidak harus masing-masing memiliki. “Mereka bisa melakukan kerja sama dalam bentung sharing frekuensi 5G untuk ke depannya,” ucapnya.

Dirjen SDPPI menjelaskan frekuensi 5G idealnya secara lengkap dari low band, middle band, dan super data layer/high band. Spektrum frekuensi ini merupakan landasan membangun 5G tergantung areanya. Pada low band sifatnya coverage band, jadi secara narutal frekuensi yang rendah itu memancarkan wilayah yang lebih luas. Indonesia sangat membutuh frekuensi low band ini.

Undang-undang Cipta Kerja sudah menetapkan analog switch off, yang artinya jadi pada 2 November 2022, spektrum frekuensi band 700 yang sekarang digunakan oleh broadcasting atau penyiaran, sudah bisa dipindahkan menajadi frekuensi untuk kebutuhan mobile broadband, termasuk 5G di dalamnya. Indonesia memilki waktu yang jelas untuk mengimplementasikan frekuensi di band 700.

Tapi, lanjut Ismail, tidak cukup hanya band coverage. Dibutuhkan juga middle band, band 2,6 dan 3,5, yang merupakan kandidat penting dalam men-deliver 5G dengan baik. Band 3,5 sudah beberapa kali uji coba bersama operator telekomunikasi untuk memastikan adanya kemungkinan CO sharing antara satelit dan 5G.

Meski demikian, tambah Ismail, jangan terjebak hanya pada urusan 5G. Ada hal lain yang harus dipersiapkan oleh operator telekomunikasi untuk menyongsong 5G secara maksimal. “Salah satunya adalah fiberisasi,” katanya.

Dirjen SDPPI berharap operator telekomunikasi menggelar fiber optik sebanyak mungkin, karena 5G tidak hanya urusan konetivitas saja, melainkan mulai dari Base Transciever Station (BTS) sampai CO Network harus dalam posisi terkoneksi dengan fiber optik agar 5G terkirim dengan baik.

Berikutnya, masalah aplikasi di masa depan yang use case dalam pemanfaatan 5G. “Indonesia tidak hanya menjadi pasar, kita berharap menjadi tuan rumah dalam implementasi 5G. Aplikasi yang dibuat oleh anak bangsa merupakan hal sangat penting ketika implemenatasi 5G digelar,” tandasnya.

Sumber/ Foto : Fandi R (Setditjen)

Banner `Layanan Ditjen SDPPI`
Banner `SDPPI Digital Assitant`
Banner `SDPPI Maps`
Banner `IFaS Fest 2023`