Siaran Pers No. 54/DJPT.1/KOMINFO/V/2006
Pelurusan Kontroversi Kewenangan Penanganan dan Penerbitan Izin Frekuensi Radio


  1. Berdasarkan sejumlah laporan dari beberapa Kantor Balai Monitoring Frekuensi Radio (UPT Ditjen Postel) yang tersebar di seluruh Indonesia, telah ditemu kenali semakin banyaknya Pemda yang telah menerbitkan izin frekuensi radio. Kondisi tersebut tidak hanya cukup mengganggu kewenangan yang sesungguhnya sudah dimiliki oleh UPT Ditjen Postel sesuai dengan ketentuan yang berlaku, tetapi juga dikhawatirkan sangat berpotensi menimbulkan kebingungan yang krusial kepada sejumlah pihak yang berkepentingan dengan pengurusan penggunaan frekuensi radio dan secara teknis banyak dikeluhkan oleh para pengguna frekuensi radio dalam negeri yang sudah jelas memperoleh hak perizinannya dan berbagai pihak di luar negeri yang sering kali mengeluh terhadap ganggunan frekuensi radio yang muncul dari Indonesia.
  2. Beberapa kontroversi informasi yang diperoleh dari beberapa laporan UPT Ditjen Postel antara lain sebagai berikut:


    1. Beberapa Pemda telah menetapkan kanal radio siaran dan televisi siaran yang telah ditetapkan oleh pemerintah pusat dan juga telah memberikan ijin penyelenggaraan radio siaran dan televisi siaran tanpa memperhatikan Keputusan Menteri Perhubungan No. KM 15 Tahun 2003 tentang Rencana Induk (Master Plan) Frekuensi Radio Penyelenggaraan Telekomunikasi Khusus Untuk Keperluan Radio Siaran FM (Frequency Modulation) dan Keputusan Menteri Perhubungan No. KM 76 Tahun 2003 tentang Rencana Induk (Master Plan) Frekuensi Radio Penyelenggaraan Telekomunikasi Khusus Untuk Keperluan Televisi Siaran Analog Pada Pita Ultra High Frequency (UHF). Sebagai konsekuensinya, master plan frekuensi radio FM di beberapa daerah menjadi kacau penanganannya (interferensi) dalam penyelenggaraan radio siaran FM. Sehingga penerimaan BHP Frekuensi Radio seperti yang terjadi di DKI Jakarta, Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah, DIY, Jawa Timur, Riau dan Kaltim dan beberapa provinsi lainnya yang langsung masuk ke kas negara cenderung berkurang secara signifikan.
    2. Beberapa Pemda telah menerbitkan ijin frekuensi radio untuk taxi, komrad dan penggunaan frekuensi radio lainnya untuk keperluan telekomunikasi. Bahkan beberapa di antaranya telah menerbitkan ijin frekuensi radio HF yang daya pancarnya dapat menembus beberapa negara lain dalam cakupan yang sangat luas, sehingga dapat berdampak terhadap penggunaan frekuensi radio lainnya di luar negeri.
  3. Pada dasarnya, Ditjen Postel menganut prinsip kooperatif dengan semua instansi yang terkait dalam melakukan tugas pokok dan fungsinya sebagaimana yang disebut pada Peraturan Presiden No. 15 Tahun 2005 Tentang Perubahan Atas Peraturan Presiden No. 10 Tahun 2005 Tentang Unit Organisasi dan Tugas Eselon I Kementerian Negara Republik Indonesia, khususnya Pasal 1 (2) yang menyebutkan, bahwa Ditjen Postel mempunyai tugas merumuskan serta melaksanakan kebijakan dan standarisasi teknis di bidang pos dan telekomunikasi. Tugas bidang pos dan telekomunikasi tersebut sudah barang tentu secara primer tetap dilaksanakan oleh Ditjen Postel, sedangkan secara sekunder dalam pelaksanaannya bekerja sama dengan berbagai instansi terkait tanpa mengurangi tugas dan fungsi pokok Ditjen Postel sebagai pihak yang paling bertanggung-jawab dalam membantu Menteri Komunikasi dan Informatika melaksanakan tugas pokoknya.
  4. Seandainya kerancuan penanganan kebijakan pos dan telekomunikasi di sejumlah daerah tersebut masih saja terus berlangsung, maka beberapa konsekuensi yang timbul adalah sebagai berikut:


    1. Beresiko pada semakin tingginya potensi kerugian negara dari pemasukan BHP Frekuensi Radio per tahun yang seharusnya langsung masuk ke kas negara.
    2. Penerbitkan ijin frekuensi radio HF secara tidak terkontrol yang daya pancarnya dapat menembus beberapa negara lain dalam cakupan yang sangat luas berpotensi menimbulkan keluhan interferensi dari pengguna frekuensi radio lainnya di luar negeri. Baik kalangan industri telekomunikasi maupun pengguna frekuensi siaran yang berkepentingan untuk mengajukan ijin baru ataupun perpanjangannya mengalami kebingungan antara harus mengurus ijinnya ke Ditjen Postel atau cukup ke Pemda setempat.
  5. Pertentangan antara pusat dan daerah dalam penggunaan frekuensi radio sebenarnya tidak perlu terjadi sekiranya konsistensi terhadap peraturan perundang-undangan yang berlaku tetap dipegang teguh, yaitu UU No. 36 Tahun 1999 Pasal 33, yang menyebutkan:


    1. Penggunaan spektrum frekuensi radio dan orbit satelit wajib mendapatkan izin Pemerintah.
    2. Penggunaan spektrum frekuensi radio dan orbit satelit harus sesuai dengan peruntukannya dan tidak saling mengganggu.
    3. Pemerintah melakukan pengawasan dan pengendalian penggunaan spektrum frekuensi radio dan orbit satelit.
    4. Ketentuan penggunaan spektrum frekuensi radio dan orbit satelit yang digunakan dalam penyelenggaraan telekomunikasi diatur dalam Peraturan Pemerintah.
  6. Searah dengan ayat 4 Pasal 33 UU No. 36 tersebut di atas, demikian pula dengan Peraturan Pemerintah (PP) No. 53 Tahun 2000 tentang Penggunaan Spektrum Frekuensi Radio dan Orbit Satelit, khususnya Pasal 17 antara lain menyebutkan:


    1. Penggunaan spektrum frekuensi radio untuk penyelenggaraan telekomunikasi wajib mendapatkan izin Menteri.
    2. Izin penggunaan spektrum frekuensi radio sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) merupakan penetapan penggunaan spektrum frekuensi radio dalam bentuk pita frekuensi radio atau kanal frekuensi radio.
    3. Ketentuan mengenai tata cara perizinan dan ketentuan operasional penggunaan spektrum frekuensi radio sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur dengan Keputusan Menteri (dalam hal ini sudah diatur melalui Peraturan Menteri Kominfo No. 17/PER/M.KOMINFO/10/2005 tentang Tata Cara Perizinan dan Ketentuan Operasional Penggunaan Spektrum Frekuensi Radio. (Sebagai catatan, sesuai dengan Pasal 1 UU No. 36 Tahun 1999 dan Pasal 1 PP No. 53 Tahun 2000, yang dimaksud dengan Menteri adalah Menteri yang ruang lingkup tugas dan tanggung jawabnya di bidang telekomunikasi).
  7. Mengacu pada UU dan PP tersebut di atas, sudah jelas kiranya, bahwa kewenangan pemerintah pusat (dalam hal ini Menteri Komunikasi dan Informatika yang secara operasional dilakukan oleh Dirjen Postel) tidak perlu menjadi persoalan yang debatable . Namun demikian, Ditjen Postel juga menyadari sepenuhnya tentang keberadaan PP No. 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah Pusat dan Kewenangan Pemerintah Provinsi Sebagai Daerah Otonom antara lain ditetapkan, bahwa Kewenangan Provinsi Sebagai Daerah Otonom yaitu melaksanakan pemberian perizinan di bidang penyelenggaraan siaran radio dan siaran televisi lokal. Keberadaan PP No. 25 Tahun 2000 tersebut telah menjadi salah satu landasan hukum bagi berbagai daerah untuk menyusun peraturan daerah yang kondusif sesuai dengan kepentingan daerah masing-masing.
  8. Sejauh ini Ditjen Postel sudah cukup intensif dalam mengatasi perbedaan persepsi tentang penggunaan frekuensi radio antara pemerintah pusat dan daerah. Menteri Perhubungan melalui suratnya No. HK.106/1/2 PHB-2004 tertanggal 27 Januari 2004 telah memberitahukan Mendagri yang intinya permohonan agar Mendagri meminta para Gubernur untuk tidak menyusun Perda yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan di bidang pos dan telekomunikasi Selanjutnya, Menteri Perhubungan melalui suratnya tertanggal 19 April 2004 kembali memberitahukan Mendagri yang intinya mempertanyakan tindak lanjut rencana pembatalan sejumlah Perda yang bermasalah di bidang pos dan telekomunikasi.
  9. Sikap concern Ditjen Postel tersebut dalam perkembangannya telah direspon positif oleh Depdagri melalui surat Dirjen Pemerintahan Umum Depdagri No. 480/249/PUM tertanggal 27 April 2005 yang intinya meminta Ditjen Postel untuk mengajukan proposalnya searah dengan rencana Depdagri untuk merevisi PP No. 25 Tahun 2000. Lebih lanjut, Menteri Kominfo melalui surat No. 155/M.KOMINFO/5/2005 tertanggal 19 Mei 2005 meminta para gubernur dan bupati/walikota untuk tidak memberikan izin frekuensi radio/televisi di wilayahnya. Munculnya surat tersebut dilatar belakangi oleh adanya sejumlah surat dari Dinas Perhubungan beberapa daerah yang meminta perusahaan-perusahaan tertentu sebagai para pengguna frekuensi radio untuk memperbaharui izin hanya semata-mata kepada Pemda setempat dan bukan kepada instansi lainnya.
  10. Sebagai informasi, pada akhirnya pertemuan bersama yang membahas rencana Revisi PP No. 25 Tahun 2000 tersebut khususnya dari aspek kewenangan pos dan telekomunikasi telah berlangsung pada tanggal 28 September 2005 di Jakarta. Pertemuan resmi tersebut diprakarsai oleh Depdagri dan dihadiri oleh sejumlah pejabat dari Depdagri, Ditjen Postel, beberapa perwakilan Pemda, sejumlah pakar dan lain sebagainya. Sampai saat ini revisi tersebut hampir mendekati penyelesaian setelah Depdagri secara marathon juga harus melakukan pertemuan dengan berbagai instansi terkait yang berkepentingan dengan masalah pembagian kewenangan pusat dan daerah. Oleh karenanya, logikanya tenggang waktu ini tidak boleh ada yang menggunakan kesempatan untuk memberlakukan peraturan daerah secara sepihak.
  11. Berdasarkan kenyataan tersebut, kepada para penyelenggara telekomunikasi diimbau untuk tidak ragu-ragu tetap mengacu pada peraturan perundang-undangan yang berlaku dalam pengurusan perizinan frekuensi radio. Dalam arti izin frekuensi radio tetap hanya dikeluarkan oleh Ditjen Postel untuk izin frekuensi radio baru maupun perpanjangan izinnya. Hal ini perlu dipertegas, karena pada saat ini beberapa pengguna frekuensi radio yang izinnya telah dikeluarkan oleh Ditjen Postel telah memperoleh teguran atau peringatan dari Pemda setempat untuk mendaftarkan diri dan memproses izinnya kepada Pemda yang bersangkutan. Di samping itu, seandainya sejumlah Pemda masih mengacu pada PP No. 25 Tahun 2000, maka dasar hukum tersebut lemah, karena yang menjadi kewenangan mereka hanya sebatas pemberian perizinan di bidang penyelenggaraan siaran radio dan siaran televisi lokal (bukan untuk penggunaan frekuensi radio lainnya dalam arti luas), dan itupun harus sesuai dengan alokasi frekuensi radio yang telah ditetapkan oleh Menteri melalui master plan baik untuk radio siaran maupun televisi siaran. Bahkan lebih dari itu, dengan adanya UU No. 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran, yang intinya menetapkan izin siaran ditetapkan bersama oleh negara melalui KPI bersama pemerintah. Sehingga dengan adanya UU Penyiaran ini kewenangan Pemda semakin terbatas.
  12. Pada saat ini berdasarkan berbagai temuan di lapangan ditemukan adanya pengguna frekuensi radio berizin Ditjen Postel yang sesungguhnya legal telah diganggu oleh pengguna frekuensi radio lain yang izinnya dikeluarkan oleh Pemda. Hal ini menimbulkan ketidak pastian perlindungan dan ketidak nyamanan bagi pengguna frekuensi radio yang berizin legal.
  13. Bahwasanya Ditjen Postel pada khususnya dan Departemen Kominfo pada umumnya sangat menghormati esensi otonomi daerah tidak perlu diragukan lagi. Hanya saja, Pasal 44 Konstitusi ITU menyatakan bahwa " In using frequency bands for radio services, members shall bear in mind that radio frequencies and any associated orbits, including the geostationary-satellite orbit, are limited natural resources and that they must be used rationally, efficiently and economically, in conformity with the provisions of the Radio Regulations, so that countries or groups of countries may have equitable access to those orbits and frequencies, taking into account the special needs of the developing countries and the geographical situation of particular countries ". Karena sifatnya yang sangat langka dan terbatas ini, namun juga lingkupnya yang tidak dapat dibatasi oleh wilayah administrasi (borderless), maka tingkatan pemerintah yang berhak dalam penretapan, pengaturan, pengawasan dan pengendalian frekuensi adalah pemerintah pusat. Pada Pasal 7 UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah telah menerangkan, bahwa pendayagunaan sumber alam yang terbatas yang memiliki nilai strategis merupakan kewenangan pemerintah pusat. Tidak ada satupun negara di dunia yang memberikan kewenangan penerbitan izin stasiun radio kepada pemerintah daerahnya, bahkan untuk negara federal sekalipun seperti Amerika Serikat, Australia, Malaysia, Rusia, Jerman dan lain sebagainya.
  14. Oleh karenanya, kepada sejumlah Pemda yang terlanjur telah mengeluarkan surat edaran tentang pengurusan penerbitan ijin frekuensi, dimohon untuk menahan diri, karena selain hal tersebut bertentangan dengan ketentuan UU yang berlaku dan juga untuk cooling down sambil menunggu tuntasnya revisi Revisi PP No. 25 Tahun 2000. Di samping itu, kondisi yang kontra produktif tersebut sangat bertolak belakang dengan kondisi internarsional sebagaimana disebut pada point 13 tersebut di atas, sehingga jika kontroversi tersebut terus berkembang dan berlarut-larut, maka hanya menimbulkan kesan anomali atau keanehan dalam "pengkaplingan" penanganan frekuensi radio di Indonesia di mata seluruh anggota ITU lainnya..

Kepala Bagian Umum dan Humas,

Gatot S Dewa Broto

HP: 0811898504

Email: gatot_b@postel.go.id

Banner `Layanan Ditjen SDPPI`
Banner `SDPPI Digital Assitant`
Banner `SDPPI Maps`
Banner `IFaS Fest 2023`