Siaran Pers No. 34/DJPT.1/KOMINFO/III/2006
Klarifikasi Kebijakan Penanganan Persoalan Keberadaan Astro (PT Direct Vision) dari Aspek UU No. 36/1999 tentang Telekomunikasi dan Beberapa Peraturan Pendukungnya


  1. Beberapa waktu yang lalu dan hingga minggu ini di sejumlah media cetak nasional telah muncul pemberitaan yang menyangkut kontroversi kehadiran PT Direct Vision, yang di antaranya tersirat adanya sejumlah pihak yang cenderung menyudutkan pemerintah karena dianggap telah menyalah gunakan kewenangannya untuk memberikan izin bagi terselenggaranya lembaga penyiaran tersebut. Dalam konteks ini perlu kiranya kami jelaskan lingkup persoalannya sebagai berikut, khususnya dari aspek UU No. 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi:


    1. Memang benar, bahwa Dirjen Postel pada tanggal 29 Oktober 2004 melalui surat No. 1850/PT.003/Tel/DJPT-2004 menerbitkan izin prinsip penyelenggaraan jasa telekomunikasi multimedia televisi berbayar kepada PT Direct Vision. Izin prinsip ini diterbitkan untuk memberi kesempatan kepada PT Direct Vision dalam melakukan pembangunan sarana dan prasarana serta persiapan lainnya yang diperlukan untuk penyelenggaraan jasa telekomunikasi multimedia televisi berbayar dan berlaku untuk masa 1 tahun terhitung sejak tanggal diterbitkan. Dalam izin prinsip tersebut juga disebutkan, bahwa dalam kaitannya dengan kontent/penyiaran yang menyertai layanan jasa telekomunikasi multimedia televisi berbayar, PT Direct Vision harus mengkoordinasikannya dengan lembaga yang berwenang sesuai peraturan perundangan yang berlaku.
    2. Kewenangan Dirjen Postel untuk menerbitkan ijin prinsip ini adalah berdasarkan Keputusan Menhub No. KM.21 Tahun 2001 tentang Penyelenggaraan Jasa Telekomunikasi. Pasal 46 Kepmenhub tersebut menyebutkan: (1) Penyelenggaraan jasa multimedia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf c terdiri atas: a. jasa televisi berbayar; b. jasa akses internet ( internet service provider); c. jasa interkoneksi internet (NAP); d. jasa internet teleponi untuk keperluan publik; e. jasa wireless access protocol (WAP); f. jasa portal; g. jasa small office home office (SOHO); h. jasa transaksi on-line; dan i. jasa aplikasi packet-switched selain sebagaimana dimaksud dalam huruf a, b, c, d, e, f, g dan huruf h; dan (2) Penyelenggaraan jasa multimedia selain sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan oleh Direktur Jenderal.
    3. Selanjutnya, Dirjen Postel pada tanggal 31 Januari 2005 melalui surat No. 082/PT.003/Tel/DJPT-2005 menerbitkan izin landing right kepada PT Direct Vision dengan menggunakan fasilitas satelit Measat yang dimiliki Malaysia. Dalam izin landing right tersebut, PT Direct Vision harus memiliki izin stasiun radio dan wajib membayar biaya hak penggunaan (BHP) spektrum frekuensi radio sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Dan yang paling penting dalam izin landing right tersebut, dalam hal masih adanya permasalahan koordinasi satelit (khususnya pending matters ) agar dapat diselesaikannya. Kewenangan Dirjen Postel untuk menerbitkan izin landing right ini mengacu pada Keputusan Menhub No. KM.21 Tahun 2001 tentang Penyelenggaraan Jasa Telekomunikasi.
    4. Kemudian Dirjen Postel melalui Keputusan Dirjen Postel No. 16/Dirjen/2005 pada tanggal 14 Pebruari 2005 menerbitkan izin penyelenggaraan jasa telekomunikasi multimedia televisi berbayar kepada PT Direct Vision. Kewenangan Dirjen Postel untuk menerbitkan izin penyelenggaraan ini juga berdasarkan Keputusan Menhub No. KM.21 Tahun 2001 tentang Penyelenggaraan Jasa Telekomunikasi.
    5. Pada perkembangan berikutnya, Pelaksana Harian Dirjen Postel pada tanggal 22 Desember 2005 melalui surat No. 2131/DJPT.4/KOMINFO/12/2005 tentang tanggapan permohonan hak labuh mengirimkan surat kepada PT Direct Vision. Surat ini sifatnya hanya merupakan korespondensi biasa atau sebagai tanggapan dan bukan merupakan bentuk pemberian izin landing right , karena surat pemberitahuan tersebut menyebutkan untuk hanya mempertimbangkan landing right sementara yang akan ditinjau kembali menunggu lengkapnya hasil koordinasi satelit antara MEASAT-2 148E dan PALAPA PACIFIC-146E dan juga mengingat PT Direct Vision harus melakukan penyesuaian izin landing right-nya sesuai ketentuan baru yang berlaku yaitu Peraturan Menkominfo No. 13/P/M.KOMINFO/8/2005 tertanggal 6 September 2005 .
    6. Oleh karenanya, korespondensi yang dilakukan oleh Pelaksana Harian Dirjen Postel tersebut adalah sah secara hukum. Hanya saja, surat tersebut tidak dapat dianggap bahwa Dirjen Postel telah menerbitkan izin landing right, karena kewenangan penerbitan izin penyelenggaraan telekomunikasi yang menggunakan satelit untuk mendapatkan izin stasiun radio (ISR) hanya ada pada Dirjen Postel, sebagaimana diatur dalam Pasal 2 Peraturan Menkominfo No. 13/P/M.KOMINFO/8/2005 tertanggal 6 September 2005. Lebih lanjut disebutkan pada Pasal 29 Peraturan Menkominfo tersebut, bahwa dengan berlakunya Peraturan ini, penyelenggaraan telekomunikasi yang telah menggunakan satelit tetap dapat melakukan kegiatannya, dengan ketentuan selambat-lambatnya dalam waktu 6 bulan sejak berlakunya Peraturan ini wajib menyesuaikan dengan Peraturan ini .
    7. Sebagai konsekuensi Pasal 29 tersebut, cukup wajar seandainya PT Direct Vision mengajukan penyesuaian izin landing right yang telah diberikan oleh Dirjen Postel pada tanggal 31 Januari 2005 melalui surat No. 082/PT.003/Tel/DJPT-2005 kepada PT Direct Vision, yang kemudian tanggapannya disampaikan oleh Pelaksana Harian Dirjen Postel pada tanggal 22 Desember 2006 melalui surat No. 2131/DJPT.4/KOMINFO/12/2005 tentang tanggapan permohonan hak labuh kepada PT Direct Vision. Akan tetapi izin landing right tersebut belum diberikan, karena ketentuan yang diatur dalam Pasal 6 Peraturan Menkominfo tersebut belum sepenuhnya terpenuhi . Pasal 6 menyebutkan (1) Dalam hal penyelenggara jaringan telekomunikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf a bermaksud menggunakan satelit asing, izin stasiun angkasa dapat diterbitkan setelah penyelenggara telekomunikasi memperoleh hak labuh ( landing right ); dan (2) Hak labuh ( landing right ) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan dengan syarat: a. satelit asing tersebut telah menyelesaikan koordinasi satelit dan atau tidak menimbulkan interferensi yang merugikan ( harmful interference ) dengan satelit Indonesia maupun stasiun radio yang telah berizin; dan b. terbukanya kesempatan yang sama bagi penyelenggara satelit Indonesia untuk berkompetisi dan beroperasi di negara asal penyelenggara satelit asing tersebut .
    8. Sebagai informasi, sejumlah persoalan yang masih tersisa dari koordinasi satelit Indonesia dan Malaysia yang terakhir diadakan pada tanggal 24 s/d. 26 Januari 2006 adalah sebagai berikut:

      1. Indonesia saat ini tidak memiliki satelit yang menggunakan frekuensi Ku-Band, namun pada masa datang sangat diyakini kebutuhan satelit Ku-band akan tumbuh apalagi frekuensi semakin lama semakin langka, sehingga harus dapat memanfaatkan frekuensi lain sebagai alternatif meskipun saat ini frekuensi tersebut tidak digunakan. Ditambah apalagi Indonesia dapat memperluas bisnis penyiaran di negara lain yang saat ini belum tereksploitasi oleh operator Indonesia, dimana hal ini dimungkinkan karena telah diakomodasi pada Peraturan Menkominfo No. 13/P/M.KOMINFO/8/2005 pada pasal yang menerangkan syarat landing right adalah selesai koordinasi dan menyepakati asas resiprokal.
      2. PT Direct Vision yang sebagian kepemilikan (20%) adalah dari Malaysia (Astro). PT Direct Vision menyajikan pelayanan televisi berbayar yang menggunakan satelit MEASAT-2 di slot orbit 148 E. Operator Indonesia yang memberikan layanan televisi berbayar yang sama adalah PT Indovision dengan satelit cakrawarta 1 di (107.7 E), dan PT Telkom di satelit Telkom-1 (108 E).
    9. Adapun sejumlah upaya yang sudah dilakukan oleh Ditjen Postel untuk terus melakukan penyelesaian koordinasi satelit dengan Malaysia adalah sebagai berikut:

      1. Ditjen Postel pada tanggal 27 Pebruari 2006 dengan surat No. 125-B/DJPT.6/KOMINFO/2/2006 telah mengirimkan surat kepada MCMC ( Malaysian Communications and Multimedia Commission ), yang intinya meminta Malaysia untuk setuju memberikan jasa layanan satelit serupa yang dilakukan oleh operator satelit Indonesia di wilayah Malaysia sebagaimana yang secara protokol harus berlaku imbal balik.
      2. Ditjen Postel pada tanggal 17 Maret 2006 dengan surat No. 205-B/DJPT.6/KOMINFO/3/2006 telah mengirimkan surat kepada MCMC, yang intinya mengundang MCMC untuk melanjutkan koordinasi satelit di Jakarta pada tanggal 23 s/d. 24 Maret mengingat masalah landing right, resiprokal dan koordinasi satelit PALAPA PAC (146E) dan MEASAT-2 (146E) perlu segera diselesaikan. Namun menurut informasi resmi dari Malaysia, koordinasi satelit ini terpaksa diundur mengingat adanya berbagai kesibukan MCMC dan segera diagendakan secepat mungkin.
    10. Sebelum upaya-upaya tersebut ditempuh, sesungguhnya MCMC telah mengirimkan surat ke Ditjen Postel pada tanggal 5 Desember 2005, yang intinya memperbolehkan satelit asing untuk beroperasi di Malaysia sebagaimana satelit PALAPA telah beroperasi sejak tahun 1980. Namun demikian, manakala kewajiban pemenuhan untuk memperoleh izin landing right tersebut ingin didapat, maka penyelesaian koordinasi satelit harus terpenuhi secara komprehensif.
    11. Berdasarkan kronologis dan prosedur yang telah direspon oleh Ditjen Postel sejak Oktober 2004 sampai dengan saai ini sama sekali tidak diketemukan adanya penyimpangan prosedur administrasi dan legal yang telah dilakukan oleh Ditjen Postel. Sebaliknya kepada PT Direct Vision, Ditjen Postel menuntut kehati-hatian dalam memberikan peryataan apapun kepada publik yang menyangkut masalah landing right, karena pada kenyataan sampai saat ini koordinasi satelit dan esensi resiprokal bagi terbukanya kesempatan yang sama bagi penyelenggara satelit Indonesia untuk berkompetisi dan beroperasi di negara asal penyelenggara satelit asing tersebut sebagaimana dipersyaratkan oleh Peraturan Menkominfo No. 13/P/M.KOMINFO/8/2005 belum tuntas sepenuhnya. Seperti misalnya juga belum lama ini disebutkan dalam salah satu media cetak nasional yang terbit tanggal 17 Maret 2006 yang menyebutkan, bahwa PT Direct Vision sudah memasuki tahap finalisasi dengan sudah diselesaikannya koordinasi satelit C-Band dan Ku-Band agar tidak menimbulkan interferensi yang merugikan. Pada kenyataan, Ku-Band belum terselesaikan dalam koordinasi satelit kedua negara.
  1. Akan halnya masalah pengaturan kepemilikian saham maksimum, itu sepenuhnya diatur dalam UU No. 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran dan bukannya pada UU No. 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi.
  2. Khusus terkait dengan UU No. 32 Tahun 2002, pada tanggal 6 Maret 2006 Menkominfo telah menanda-tangani Surat Edaran No. 02/SE/M.KOMINFO/3/2006 tentang Pelaporan Keberadaan Lembaga Penyiaran Publik, Lembaga Penyiaran Swasta, Lembaga Penyiaran Komunitas dan Lembaga Penyiaran Berlangganan. Seluruh entitas yang terkait dengan Surat Edaran ini diminta untuk melaporkan keberadaannya beserta status izinnya yang bertujuan untuk tertib administrasi dan penyesuaian izin penyelenggaraan penyiaran. Dalam konteks ini, PT Direct Vision juga wajib melaporkan keberadaannya.
  3. Saat ini Menkominfo dan Dirjen Postel telah meminta PT Direct Vision untuk melengkapi seluruh prosedur yang harus dipenuhi sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dengan demikian, baik Menkominfo, Dirjen Postel (baik Dirjen Postel sebelum ini yaitu Djamhari Sirat maupun Dirjen Postel saat ini yaitu Basuki Yusuf Iskandar dan Pelaksana Harian Dirjen Postel (yang saat surat No. 2131/DJPT.4/KOMINFO/12/2005 tertanggal 22 Desember 2005 tersebut dibuat ditanda-tangani oleh Tulus Rahardjo selaku Direktur Frekuensi Radio dan Orbit Satelit, mengingat Dirjen Postel sedang menunaikan ibadah haji) sudah mengikuti seluruh mekanisme sesuai dengan ketentuan yang berlaku dan tidak ditemu kenali adanya anomali dalam penanganan masalah PT Direct Vision.
  4. Sebagai penutup dari Siaran Pers ini, perlu diketahui, bahwa pada dasarnya pemerintah sangat mendorong kehadiran investasi asing di bidang telekomunikasi di Indonesia, termasuk dengan adanya kehadiran Astro melalui PT Direct Vision. Bagaimanapun juga, dengan bertambahnya layanan televisi berbayar di Indonesia, akan makin mendorong adanya tarif layanan televisi berlangganan yang lebih kompetitif dan sebagai dampaknya masyarakat akan memiliki beragam pilihan karena tidak adanya sistem monopoli. Hanya saja apapun bentuk investasinya harus tetap mengacu pada seluruh ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan dengan mempertimbangkan aspek kepentingan nasional yang ada . Prinsip inilah yang menjadi pedoman kunci di jajaran Departemen Kominfo dan khususnya Ditjen Postel.

Kepala Bagian Umum dan Humas,

Gatot S. Dewa Broto

HP: 0811898504

E-mail: gatot_b@postel.go.id

Banner `Layanan Ditjen SDPPI`
Banner `SDPPI Digital Assitant`
Banner `SDPPI Maps`
Banner `IFaS Fest 2023`