Siaran Pers No. 21/DJPT.1/KOMINFO/II/2006
Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Tentang Interkoneksi


  1. Setelah cukup lama dinanti-nantikan oleh berbagai komunitas, industri telekomunikasi dan khususnya operator telekomunikasi, Peraturan Menteri No 8/Per/M.KOMINFO/02/2006 Tahun 2006 tentang Interkoneksi pada akhirnya telah ditanda-tangani oleh Menkominfo Sofyan A. Djalil pada tanggal 8 Pebruari 2006. Dasar pertimbangan utama Peraturan Menteri ini adalah bahwa dalam Peraturan Pemerintah Nomor 52 Tahun 2000 tentang Penyelenggaraan Telekomunikasi telah diatur ketentuan tentang interkoneksi penyelenggaraan telekomunikasi. Selain itu disadari sepenuhnya, bahwa untuk menjamin kepastian dan transparansi penyediaan dan pelayanan interkoneksi antar penyelenggara telekomunikasi, perlu ditetapkan ketentuan tentang interkoneksi antar penyelenggara telekomunikasi dengan Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika.
    1. Sesuai dengan Peraturan Menteri ini, interkoneksi wajib dilaksanakan untuk memberikan jaminan kepada pengguna agar dapat mengakses jasa telekomunikasi. Interkoneksi sebagaimana dimaksud di atas wajib disediakan oleh penyelenggara jaringan telekomunikasi berdasarkan permintaan. Dalam memberikan jaminan kepada pengguna agar dapat mengakses jasa telekomunikasi sebagaimana dimaksud di atas, penyelenggara jaringan telekomunikasi menyediakan ketersambungan dengan perangkat milik penyelenggara jasa telekomunikasi. Ketersambungan perangkat milik penyelenggara jasa telekomunikasi dengan jaringan telekomunikasi sebagaimana dimaksud di atas dilaksanakan secara transparan dan tidak diskriminatif.
    2. Jenis layanan dari interkoneksi dan ketersambungan sebagaimana dimaksud di atas dapat terdiri dari layanan originasi, layanan transit, dan ayanan terminasi. Layanan originasi ini merupakan pembangkitan panggilan yang berasal dari satu penyelenggara kepada penyelenggara lain.Pembangkitan panggilan yang dimaksud dapat berasal dari: penyelenggara jaringan tetap lokal, penyelenggara jaringan bergerak selular, atau penyelenggara jaringan bergerak satelit. Penyelenggara tersebut dapat memberikan layanan originasi: lokal, jarak jauh, internasional, bergerak selular, atau bergerak satelit.
    3. Layanan originasi lokal tersebut merupakan pembangkitan panggilan oleh penyelenggara jaringan asal dimana titik interkoneksi berada pada area pembebanan yang sama dengan area pembebanan penyelenggara tujuan. Sedangkan layanan originasi jarak jauhnya merupakan pembangkitan panggilan oleh penyelenggara jaringan asal dimana titik interkoneksi berada pada area pembebanan yang berbeda dengan area pembebanan penyelenggara tujuan. Layanan originasi internasional tersebut merupakan pembangkitan panggilan oleh penyelenggara jaringan asal dengan menggunakan kode akses milik penyelenggara jasa teleponi dasar sambungan internasional. Layanan originasi bergerak selular tersebut merupakan pembangkitan panggilan yang berasal dari penyelenggara jaringan bergerak selular kepada penyelenggara tujuan. Akan halnya layanan originasi bergerak satelit merupakan pembangkitan panggilan yang berasal dari penyelenggara jaringan bergerak satelit kepada penyelenggara tujuan.
    4. Layanan transit tersebut merupakan penyediaan jaringan atau elemen jaringan untuk keperluan penyaluran panggilan interkoneksi dari penyelenggara asal kepada penyelenggara tujuan panggilan interkoneksi. Layanan transit tersebut dapat terdiri dari lokal; atau jarak jauh. Layanan transit lokal yang dimaksud merupakan layanan transit dengan menggunakan 1 (satu) sentral atau trunk. Layanan transit jarak jauh tersebut merupakan layanan transit dengan menggunakan 1 (satu) atau lebih sentral atau trunk dengan jaringan transmisi milik penyelenggara jaringan tetap jarak jauh. Layanan terminasi tersebut merupakan pengakhiran panggilan interkoneksi dari penyelenggara asal kepada penyelenggara tujuan. Pengakhiran panggilan tersebut dapat dilakukan oleh penyelenggara jaringan: tetap lokal, bergerak selular atau bergerak satelit.
    5. Penyelenggara tersebut dapat memberikan layanan terminasi lokal, jarak jauh, internasional, bergerak selular atau bergerak satelit. Layanan terminasi lokal tersebut merupakan pengakhiran panggilan interkoneksi oleh penyelenggara tujuan dimana titik interkoneksi berada dalam area pembebanan yang sama dengan area pembebanan penyelenggara asal. Layanan terminasi jarak jauh tersebut merupakan pengakhiran panggilan interkoneksi dimana titik interkoneksi berada pada area pembebanan yang berbeda dengan area pembebanan penyelenggara tujuan. Layanan terminasi internasional tersebut merupakan pengakhiran panggilan jasa teleponi dasar sambungan internasional. Layanan terminasi bergerak selular tersebut merupakan pengakhiran panggilan interkoneksi oleh penyelenggara jaringan bergerak selular. Layanan terminasi bergerak satelit tersebut merupakan pengakhiran panggilan interkoneksi oleh penyelenggara jaringan satelit.
    6. Setiap penyelenggara jaringan telekomunikasi wajib mencantumkan setiap jenis layanan interkoneksi yang disediakan tersebut dalam Dokumen Penawaran Interkoneksi. Dalam hal penyelenggara jaringan telekomunikasi menyediakan layanan interkoneksi yang tidak termasuk dalam interkoneksi tersebut , maka interkoneksi beserta layanannya harus dicantumkan dalam Dokumen Penawaran Interkoneksi . Pencantuman jenis layanan interkoneksi sebagaimana yang dimaksud harus menyertakan skenario panggilan dan letak titik interkoneksi. Tata cara perumusan Dokumen Penawaran Interkoneksi dilakukan berdasarkan Petunjuk Penyusunan Dokumen Penawaran Interkoneksi sebagaimana tercantum dalam Lampiran Peraturan Menteri ini.
    7. Biaya Interkoneksi merupakan biaya yang timbul akibat penyediaan layanan interkoneksi. Jenis biaya interkoneksi tersebut dapat terdiri dari biaya originasi, biaya transit, atau biaya terminasi. Biaya originasi sebagaimana dimaksud terdiri dari lokal, jarak jauh, internasional, bergerak selular, atau bergerak satelit. Sedangkan b iaya transit sebagaimana dimaksud terdiri dari b iaya transit lokal atau biaya transit jarak jauh. Sedangkan biaya terminasi sebagaimana dimaksud terdiri dari lokal, jarak jauh, internasional , bergerak selular atau bergerak satelit.
    8. Perhitungan biaya interkoneksi sebagaimana dimaksud dilakukan secara transparan dan berdasarkan formula perhitungan sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran Peraturan Menteri ini. Perhitungan biaya interkoneksi sebagaimana dimaksud dilakukan dengan mengacu pada: ketentuan metode pengalokasian biaya dan laporan finansial kepada regulator sebagaimana tercantum dalam lampiran Peraturan Menteri ini dan buku panduan dan perangkat lunak formula perhitungan biaya interkoneksi yang ditetapkan dengan Keputusan Direktur Jenderal. Besaran biaya interkoneksi hasil perhitungan sebagaimana dimaksud merupakan biaya interkoneksi yang harus dicantumkan dalam DPI penyelenggara telekomunikasi. Besaran biaya interkoneksi sebagaimana dimaksud dapat disesuaikan dengan nilai ekonomis. Nilai ekonomis sebagaima merupakan biaya interkoneksi sebagaimana yang dimaksud yang disesuaikan dengan kapasitas permintaan dan jumlah trafik yang dikomitmenkan oleh penyelenggara telekomunikasi yang meminta layanan interkoneksi. Tata cara penetapan nilai ekonomis sebagaimana yang dimaksud harus dicantumkan dalam DPI.
    9. Biaya interkoneksi dibebankan oleh penyelenggara tujuan panggilan kepada penyelenggara asal panggilan yang mempunyai tanggung jawab atas panggilan interkoneksi. Dalam hal tanggung jawab panggilan interkoneksi dimiliki oleh penyelenggara tujuan atau penyelenggara jasa telekomunikasi, biaya interkoneksi dibebankan oleh penyelenggara asal kepada penyelenggara tujuan. Tanggung jawab atas panggilan interkoneksi sebagaimana yang dimaksud meliputi tanggung jawab atas kualitas layanan, proses billing tarif pungut, penagihan kepada pengguna, dan piutang tak tertagih. Tanggung jawab selain kualitas layanan sebagaimana yang dimaksud dapat dilaksanakan oleh penyelenggara yang menyalurkan trafik interkoneksi. Dalam hal tanggung jawab dilaksanakan oleh penyelenggara jaringan yang menyalurkan trafik interkoneksi sebagaimana yang dimaksud penyelenggara yang menyalurkan trafik interkoneksi dapat mengenakan biaya atas pelaksanaan tanggung jawab tersebut yang ditetapkan berdasarkan kesepakatan bersama. Besaran biaya pelaksanaan tanggung jawab sebagaimana yang dimaksud dilaksanakan secara transparan dan tidak diskriminatif.
    10. Penagihan biaya interkoneksi dilakukan berdasarkan kesepakatan antar penyelenggara. Pembebanan dan penagihan biaya interkoneksi sebagaimana yang dimaksud harus dicantumkan dalam DPI.
    11. Setiap penyelenggara telekomunikasi wajib menyampaikan laporan perhitungan besaran biaya interkoneksinya kepada BRTI. Laporan sebagaimana yang dimaksud terdiri dari: laporan finansial kepada regulator, dokumentasi perhitungan dan perangkat lunak perhitungan berupa spreadsheet , atau alokasi biaya sebagaimana diatur dalam Metode Pengalokasian Biaya dan Pelaporan Finansial kepada Regulator sebagaimana yang dimaksud. Laporan perhitungan sebagaimana yang dimaksud disampaikan kepada BRTI dalam waktu 20 (dua puluh) hari kerja sebelum diimplementasikan.
    12. Setiap penyelenggara jaringan telekomunikasi wajib menyediakan dan mempublikasikan DPI selambat-lambatnya 60 hari kerja sejak tanggal ditetapkan Peraturan Menteri ini sesuai pedoman sebagaimana dimaksud dalam Lampiran 3 Peraturan Menteri ini. DPI sebagaimana dimaksud dapat dievaluasi oleh BRTI setiap tahun. DPI milik penyelenggara jaringan telekomunikasi dengan pendapatan usaha ( operating revenue ) 25% atau lebih dari total pendapatan usaha seluruh penyelenggara telekomunikasi dalam segmentasi layanannya, wajib mendapatkan persetujuan BRTI. BRTI harus melakukan evaluasi dan menetapkan penyelenggara jaringan telekomunikasi dengan pendapatan usaha (operating revenue ) 25% atau lebih sebagaimana dimaksud setiap tahun. BRTI melakukan evaluasi terhadap DPI.
    13. Evaluasi DPI sebagaimana dimaksud dilakukan sebelum dipublikasikan dengan ketentuan sebagai berikut: usulan DPI diserahkan kepada BRTI selambat-lambatnya 30 hari kerja sejak tanggal ditetapkan Peraturan Menteri ini; persetujuan atau penolakan BRTI diberikan selambat-lambatnya 20 (dua puluh) hari kerja sejak tanggal diterimanya usulan DPI; BRTI dalam menyetujui atau menolak sebagaimana dimaksud wajib memperhatikan masukan dari publik; publikasi usulan DPI penyelenggara dilakukan selambat-lambatnya 5 hari kerja sejak tanggal diterimanya usulan DPI penyelenggara dalam situs internet milik BRTI dan Direktorat Jenderal; masukan sebagaimana dimaksud harus diterima BRTI selambat-lambatnya 5 hari kerja terhitung sejak tanggal dipublikasikannya usulan DPI penyelenggara.
    14. Di samping itu, dalam hal masukan sebagaimana dimaksud ditolak, BRTI harus menyampaikan alasan penolakannya selambat-lambatnya 10 (sepuluh) hari kerja terhitung sejak tanggal diterimanya masukan dari publik. Dalam hal persetujuan atau penolakan tidak diberikan oleh BRTI dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam butir b. usulan DPI dianggap disetujui dan dapat dipublikasikan oleh penyelenggara jaringan telekomunikasi. Dalam hal usulan DPI ditolak oleh BRTI, usulan DPI wajib diperbaiki dan diserahkan kembali kepada BRTI selambat-lambatnya 20 (dua puluh) hari kerja terhitung sejak tanggal diterimanya penolakan dari BRTI. Persetujuan atau penolakan oleh BRTI terhadap perbaikan usulan DPI diberikan selambat-lambatnya 10 (sepuluh) hari kerja terhitung sejak tanggal diterimanya usulan DPI hasil perbaikan. Dalam hal persetujuan atau penolakan tidak diberikan oleh BRTI dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud usulan DPI dianggap disetujui dan dapat dipublikasikan oleh penyelenggara jaringan telekomunikasi. Dalam hal perbaikan sebagaimana dimaksud dalam butir h. ditolak oleh BRTI, maka BRTI menetapkan DPI dimaksud selambat-lambatnya 20 (dua puluh) hari kerja terhitung sejak tanggal diterimanya usulan DPI hasil perbaikan.
    15. Setiap perubahan DPI sebagaimana dimaksud harus mendapat persetujuan BRTI. Persetujuan atau penolakan oleh BRTI terhadap usulan perubahan DPI diberikan selambat-lambatnya 10 (sepuluh) hari kerja terhitung sejak tanggal diterimanya usulan perubahan DPI. Dalam hal persetujuan atau penolakan tidak diberikan oleh BRTI dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud, DPI dianggap disetujui dan penyelenggara dapat mempublikasikan perubahan DPI. Dalam hal perubahan DPI ditolak oleh BRTI, penyelenggara wajib memperbaiki DPI dimaksud dan menyerahkan kembali kepada BRTI selambat-lambatnya 10 (sepuluh) hari kerja terhitung sejak tanggal diterimanya penolakan dari BRTI. Persetujuan atau penolakan oleh BRTI terhadap DPI hasil perbaikan sebagaimana dimaksud diberikan selambat-lambatnya 10 (sepuluh) hari kerja terhitung sejak tanggal diterimanya DPI. Dalam hal perbaikan sebagaimana dimaksud ditolak oleh BRTI, maka BRTI menetapkan perubahan DPI penyelenggara dimaksud selambat-lambatnya 20 (dua puluh) hari kerja terhitung sejak diterimanya DPI hasil perbaikan. Dalam hal persetujuan atau penolakan tidak diberikan oleh BRTI dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud, DPI dianggap disetujui dan penyelenggara dapat mempublikasikan DPI. Publikasi perubahan DPI dilakukan melalui situs internet milik penyelenggara, BRTI dan Direktorat Jenderal.
    16. Publik dapat mengusulkan perubahan atas DPI penyelenggara sebagaimana dimaksud dalam pasal 20 yang telah disahkan dan dipublikasikan oleh BRTI, beserta alasannya, khususnya yang menyangkut kepentingan masyarakat pengguna layanan telekomunikasi. Usulan atas perubahan DPI sebagaimana dimaksud harus disampaikan secara tertulis. Dalam hal usulan perubahan atas DPI sebagaimana dimaksud dapat diterima, BRTI akan mempertimbangkan masukan tersebut pada evaluasi DPI. Dalam hal usulan perubahan atas DPI sebagaimana dimaksud ditolak, BRTI menyampaikan alasan penolakannya dalam waktu 10 (sepuluh) hari kerja terhitung sejak tanggal usulan diterima.
    17. Permintaan layanan interkoneksi harus disusun oleh pencari akses dengan mengacu kepada DPI penyedia akses. Pencari akses dapat meminta informasi tambahan kepada penyedia akses terkait dengan DPI penyedia akses. Penyedia akses harus menyediakan informasi tambahan sebagaimana dimaksud selambat-lambatnya 5 (lima) hari kerja terhitung sejak tanggal diterimanya permintaan disampaikan oleh pencari akses. Permintaan layanan interkoneksi oleh pencari akses sekurang-kurangnya harus dilampirkan: n ama penyelenggara dan nama pejabat yang berwenang, izin penyelenggaraan telekomunikasi, jenis layanan interkoneksi yang diminta, penjelasan bahwa layanan interkoneksi yang diminta belum disediakan oleh penyedia akses, penjelasan permintaan tambahan jenis dan kapasitas layanan interkoneksi apabila permintaan layanan interkoneksi yang diminta adalah penambahan jenis dan kapasitas layanan interkoneksi, lokasi geografis dan tingkat fungsional dari titik interkoneksi yang dibutuhkan, rencana kerangka waktu yang dibutuhkan dalam memenuhi kondisi dalam jaringan telekomunikasi, dan proyeksi ke depan ( forecast ) atas kebutuhan kapasitas interkoneksi.
    18. Penyedia akses wajib menggunakan sistem antrian dengan mendahulukan pencari akses pertama yang menyampaikan permintaan layanan interkoneksi. Sistem antrian sebagaimana dimaksud harus menyertakan permintaan interkoneksi oleh penyelenggara lain yang hak pengelolaannya berada pada pihak yang sama dengan penyedia akses. Posisi antrian permintaan layanan interkoneksi dari pencari akses wajib disampaikan selambat-lambatnya 5 (lima) hari kerja terhitung sejak tanggal diterimanya permintaan layanan interkoneksi. Posisi antrian permintaan layanan interkoneksi sebagaimana dimaksud ditetapkan penyedia akses dengan mempertimbangkan kemampuan dari pencari akses dalam memenuhi kondisi dan persyaratan yang ditetapkan. Dalam hal penyedia akses tidak menyampaikan posisi antrian permintaan layanan interkoneksi dalam waktu sebagaimana dimaksud, pencari akses dapat meminta mediasi untuk memperoleh status permintaan interkoneksinya. Permintaan mediasi dilakukan dengan mengacu kepada Tata Cara Penyelesaian Perselisihan Interkoneksi yang ditetapkan dalam lampiran Peraturan Menteri ini.
    19. Penyedia akses dapat menolak permintaan layanan interkoneksi yang disampaikan oleh pencari akses. Penolakan sebagaimana dimaksud dilakukan bila: pencari akses tidak menyampaikan data sebagaimana dimaksud, jenis dan layanan interkoneksi yang diminta tidak terdapat dalam DPI penyedia akses, dan melebihi kapasitas interkoneksi yang tersedia. Penolakan permintaan layanan interkoneksi sebagaimana dimaksud harus disampaikan: kepada pencari akses selambat-lambatnya 10 (sepuluh) hari kerja terhitung sejak tanggal diterimanya permintaan layanan interkoneksi, secara tertulis disertai alasan penolakannya sebagaimana dimaksud, dan dalam hal pencari akses keberatan, pencari akses dapat meminta penyelesaian sebagaimana ditetapkan dalam lampiran Peraturan Menteri ini.
    20. Setiap penerimaan permintaan layanan interkoneksi yang memenuhi syarat wajib dijawab oleh penyedia akses. Jawaban penyedia akses sebagaimana dimaksud antara lain memuat: nama dan jabatan yang berwenang dari pihak penyedia akses, kondisi teknis dan operasional meliputi antara lain: jaringan pencari akses harus sesuai dengan persyaratan teknis penyedia akses, berbagai opsi yang berkaitan dengan interkoneksi yang diminta, indikasi tentang jangka waktu yang diperlukan untuk melakukan interkoneksi, daftar layanan interkoneksi dan kewajiban para pihak yang berinterkoneksi untuk melakukan pemesanan suatu kapasitas interkoneksi tertentu, diagram yang merupakan ringkasan prosedur untuk membangun interkoneksi, meliputi waktu dari setiap aktivitas dan acuan kepada tabel yang berisikan daftar setiap aktivitas, dan rincian dari seluruh titik interkoneksi yang tersedia meliputi jumlah, lokasi, dimensi dan spesifikasi lainnya.
    21. Di samping itu, jawaban penyedia akses juga memuat: daftar dan biaya layanan utama interkoneksi dan penjelasan cara memisahkan trafik untuk setiap layanan interkoneksi pada titik interkoneksi, biaya langsung meliputi biaya pengadaan link interkoneksi, perubahan sistem pada penyedia akses, dan penggunaan sarana dan prasarana penunjang, dan informasi pelaksanaan proses administrasi dalam penyediaan layanan interkoneksi. Penyedia akses wajib memberikan asistensi kepada pencari akses dalam memahami jawaban permintaan layanan interkoneksi. Jawaban permintaan layanan interkoneksi sebagaimana dimaksud harus disampaikan selambat-lambatnya 20 (dua puluh) hari kerja sejak tanggal diterimanya permintaan layanan interkoneksi. Dalam hal penyedia akses tidak menjawab permintaan layanan interkoneksi kurun waktu sebagaimana dimaksud, pencari akses dapat meminta mediasi dan atau arbitrase dengan mengacu kepada Tata Cara Penyelesaian Perselisihan Interkoneksi sebagaimana tercantum dalam lampiran Peraturan Menteri ini.
    22. Pencari akses wajib memberikan tanggapan atas jawaban permintaan layanan interkoneksi yang disampaikan oleh penyedia akses sebagaimana dimaksud selambat-lambatnya 10 (sepuluh) hari kerja terhitung sejak tanggal diterimanya jawaban permintaan layanan interkoneksi. Tanggapan sebagaimana dimaksud berisi penjelasan posisi pencari akses atas jawaban permintaan layanan interkoneksi yang disampaikan oleh penyedia akses. Dalam hal pencari akses tidak memberikan tanggapan atas jawaban permintaan tidak disampaikan sampai batas waktu sebagaimana dimaksud, permintaan layanan interkoneksi tersebut dianggap gugur.
    23. Berdasarkan jawaban permintaan layanan interkoneksi yang diberikan penyedia akses sebagaimana dimaksud, pencari akses dapat mengajukan permohonan negosiasi kepada penyedia akses atas permintaan layanan interkoneksi atau akses terhadap fasilitas penting untuk interkoneksi. Negosiasi sebagaimana dimaksud wajib diselesaikan selambat-lambatnya 20 (dua puluh) hari kerja terhitung sejak tanggal diterimanya permohonan negosiasi oleh penyedia akses.
    24. Penyedia akses dan pencari akses yang sepakat untuk berinterkoneksi wajib mengesahkan Perjanjian Kerjasama Interkoneksi antara kedua belah pihak sesuai aturan perundang-undangan yang berlaku. Penyedia akses dan pencari akses yang telah mengesahkan Perjanjian Kerjasama Interkoneksi sebagaimana dimaksud, wajib melakukan negosiasi untuk menyepakati Perjanjian Pokok Akses terhadap Fasilitas Penting untuk Interkoneksi. Negosiasi sebagaimana dimaksud wajib dilakukan berdasarkan Aturan Pokok Akses Terhadap Fasilitas Penting untuk Interkoneksi sebagaimana tercantum dalam lampiran Peraturan Menteri ini. Dalam hal negosiasi sebagaimana dimaksud tidak dapat diselesaikan selambat-lambatnya 20 (dua puluh) hari kerja akibat adanya ketidaksepakatan, maka salah satu pihak dapat mengajukan permintaan mediasi dan atau arbitrase dengan mengacu kepada Tata Cara Penyelesaian Perselisihan Interkoneksi sebagaimana ditetapkan dalam lampiran Peraturan Menteri ini.
    25. Setiap penyelenggara yang berinterkoneksi wajib menyediakan layanan akses secara langsung untuk keperluan penyaluran trafik interkoneksi. Dalam hal layanan akses secara langsung sebagaimana dimaksud tidak memungkinkan, pengalihan trafik dapat dilakukan melalui penyelenggara jaringan lain yang disepakati kedua belah pihak. Setiap penyelenggara telekomunikasi yang berinterkoneksi dilarang melakukan pengalihan trafik dalam rangka memanfaatkan perbedaan biaya interkoneksi.
    26. Pencari akses yang telah menandatangani perjanjian interkoneksi serta perjanjian pokok akses terhadap fasilitas penting dengan penyedia akses wajib menyampaikan laporan kepada BRTI. Laporan sebagaimana dimaksud antara lain memuat: daftar layanan interkoneksi dan kewajiban para pihak yang berinterkoneksi, besaran biaya interkoneksi yang disepakati, penetapan nilai ekonomis dari besaran biaya interkoneksi yang disepakati, rincian dari seluruh titik interkoneksi yang tersedia meliputi jumlah, lokasi, dimensi dan spesifikasi lainnya, dan masa berlaku kesepakatan interkoneksi. Laporan sebagaimana dimaksud disampaikan kepada BRTI selambat-lambatnya 10 (sepuluh) hari kerja terhitung sejak tanggal ditandatanganinya kesepakatan. Perjanjian teknis interkoneksi antar penyelenggara telekomunikasi yang ada tetap dapat digunakan, sepanjang kedua belah pihak sepakat dan tidak bertentangan dengan Peraturan Menteri ini. Dalam hal salah satu pihak menginginkan perubahan dari perjanjian teknis interkoneksi yang ada berdasarkan Peraturan Menteri ini, perubahan tersebut dapat dilakukan setelah diterbitkannya pengesahan DPI oleh BRTI. Pelaporan perhitungan biaya interkoneksi tahun 2007 selambat-lambatnya telah diserahkan akhir September 2006 dengan menggunakan data tahun 2005. Dalam melakukan perhitungan biaya interkoneksi tahun 2007 sebagaimana dimaksud, seluruh penyelenggara jaringan dan jasa telekomunikasi harus sudah menerapkan prinsip pengalokasian biaya sesuai dengan ketentuan dalam lampiran Peraturan Menteri ini. Pencatatan pengalokasian biaya dengan menggunakan daftar perkiraan sesuai dengan metode pengalokasian biaya lampiran Peraturan Menteri ini mulai berlaku efektif terhitung sejak tanggal 1 Januari 2007.
  2. Dengan selesai ditanda-tanganinya Peraturan Menteri ini, kepastian hukum tentang keseriusan dan komitmen pemerintah dalam menyelesaikan regulasi interkoneksi. Bahwasanya baru saat ini pemerintah dapat menyelesaikannya, bukan karena lambannya respon tetapi merupakan representasi dari demikian tingginya tingkat persoalan interkoneksi ini, mengingat selama ini salah satu persoalan yang sangat komplikated yang cenderung kurang kondusif terhadap tujuan peningkatan pertumbuhan industri telekomunikasi di Indonesia adalah masalah interkoneksi. Hampir setiap bulan selalu ada saja berita-berita di berbagai media massa yang terkait dengan masalah interkoneksi, khususnya konflik yang melibatkan beberapa operator telekomunikasi tertentu. Pernah termuat di sejumlah media tertentu, bahwa suatu operator telekomunikasi mengeluhkan mahalnya tarif interkoneksi yang dipasang mitranya (operator telekomunikasi lainnya), sehingga menjadi salah satu sebab terganjalnya pembukaan akses interkoneksi. Contoh konkret, misalnya masalah sering sulitnya interkoneksi antar penyelenggara telefon seluler di Batam, Palembang , Balikpapan dan lain sebagainya. Terlebih lagi, meskipun kebijakan duopoli sudah dicanangkan, masalah interkoneksi jaringan telefon masih tersendat dan baru sukses terbuka aksesnya sejak setahun yang lalu walaupun itu sebatas di Jakarta dan Surabaya . Keluhan sejenis itu tidak hanya pernah diaktualisasikan oleh beberapa operator lainnya. Namun sebaliknya pula tidak sedikit operator yang telah menikmati akses interkoneksi yang tersedia.
  3. Sesungguhnya, UU No. 36/1999 tentang Telekomunikasi sudah mengatur masalah interkoneksi. Setiap penyelenggara jaringan telekomunikasi berhak mendapatkan interkoneksi dari penyelenggara jaringan telekomunikasi. Sebaliknya, setiap penyelenggara jaringan telekomunikasi wajib menyediakan interkoneksi apabila diminta oleh penyelenggara jaringan telekomunikasi lainnya. Dalam pelaksanaannya, aturan ini kemudian ditambah lagi melalui Pasal 20, Pasal 21, Pasal 22, Pasal 23, Pasal 24, dan Pasal 25 Peraturan Pemerintah Nomor 52 Tahun 2000 tentang Penyelenggaraan Telekomunikasi. Ditegaskan kembali dalam Peraturan Pemerintah tersebut, bahwa setiap penyelenggara jaringan telekomunikasi wajib menjamin tersedianya interkoneksi yang dilaksanakan pada titik interkoneksi. Interkoneksi di sini adalah titik terjadinya interkoneksi ketersambungan yang merupakan titik batas tanggung jawab pengelolaan jaringan telekomunikasi milik penyelenggara yang berbeda.
  4. Secara hukum, di samping UU dan PP tersebut, referensi yuridis yang menjadi acuan pemerintah dalam pemberlakuan penghitungan tarif interkoneksi adalah di antaranya Keputusan Menteri Parpostel No. KM.56/PR.301/MPPT-98 Tahun 1998 tentang Tarif Interkoneksi Jaringan Telekomunikasi Antar Penyelenggara Jasa Telekomunikasi, Keputusan Menteri Perhubungan No. KM.37 Tahun 1999 tentang Penyempurnaan Keputusan Menteri Parpostel No. KM.56/PR.301/MPPT-98 Tahun 1998 tentang Tarif Interkoneksi Jaringan Telekomunikasi Antar Penyelenggara Jasa Telekomunikasi, dan Keputusan Menteri Perhubungan No. KM.32 Tahun 2004 tentang Biaya Interkoneksi Penyelenggaraan Telekomunikasi. Ketiga Keputusan Menteri tersebut lebih mengatur pada masalah biaya interkoneksi, yang pada saat itu mengacu pada revenue sharing . Akan tetapi, dalam perkembangannya, Ditjen Postel menyadari sepenuhnya, bahwa skema revenue sharing (bagi hasil) tersebut tidak lagi sesuai dengan iklim kompetisi yang kini berlangsung. Itulah sebabnya Ditjen Postel sangat berkomitmen untuk serius segera memberlakukan interkoneksi berbasis biaya.
  5. Sebagai wujud keseriusan dalam menyusun regulasi skema tariff interkoneksi yang berbasis biaya, Ditjen Postel telah menunjuk suatu konsultan independent internasional yang sangat berpengalaman dalam bidang pemberian jasa konsultasi bidang telekomunikasi. Hasil kerja konsultan tersebut telah dipresentasikan pada Ditjen Postel, dan menjadi salah satu referensi utama dari penyusunan regulasi skema tariff interkoneksi yang berbasis biaya. Semula Ditjen Postel berencana untuk memberlakukan regulasi tersebut dalam bentuk Keputusan Menteri Perhubungan mulai tanggal 1 Januari 2005. Namun demikian tertunda hingga saat ini dan itulah sebabnya kini Ditjen Postel bersama BRTI dan Biro Hukum Departemen Kominfo sedang berusaha keras agar Rancangan Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika tentang Interkoneksi Antar Penyelenggara Telekomunikasi dapat diselesaikan secepat mungkin.
  6. Kebutuhan biaya interkoneksi yang dihitung berdasarkan biaya sebenarnya sangat mendesak dalam rangka mendorong pertumbuhan akses dari industri yang kompetitif dan mendorong pertumbuhan panggilan. Kebutuhan penempatan biaya pada porsinya dimaksudkan agar minat investasi di jaringan akses bertumbuh dan mendorong pertumbuhan panggilan khususnya panggilan jarak jauh. Dengan biaya interkoneksi yang sebenarnya, akan mengetahui posisi besaran tariff pungut yang sebenarnya termasuk menghindari praktek subsidi silang yang terjadi selama ini. Sebaran layanan multimedia khususnya internet yang tidak merata, sebenarnya dapat di atasi dengan menempatkan biaya interkoneksi sesuai biaya, hal ini disebabkan interkoneksi akan menjadi factor utama dalam penentuan tariff pungut. Kondisi eksisting, beberapa penyelenggara tidak dapat menghubungkan jaringannya di daerah karena tidak kompetitifnya harga dari transit dan sirkit sewa. Tidak kompetitifnya harga transit dan sirkit sewa ini, tidak lain disebabkan skema revenue sharing pada biaya interkoneksi, yang menetapkan harga transit di atas biaya sebenarnya.
  7. Pilihan yang tepat dalam menghitung besaran biaya interkoneksi adalah biaya interkoneksi berbasis biaya dengan medote perhitungan biaya yang mengadopsi model jaringan yang diefisienkan dari kondisi jaringan eksisting. Secara bertahap dalam implementasinya, model jaringan akan dievaluasi sesuai dengan perkembangan tingkat efisiensi yang dicapai, sampai diperoleh format jaringan yang ideal dari persfektif efisiensi. Berdasarkan model tersebut kemudian biaya interkoneksi akan dihitung berdasarkan sebab akibat biaya yang relevan dan bersifat incremental atas penyediaan layanan interkoneksi. Prinsip ini digunakan akibat model jaringan yang dibangun tidak sepenuhnya digunakan untuk menyediakan layanan interkoneksi akan tetapi juga layanan-layanan jasa lainnya, sehingga biaya interkoneksi benar-benar hanya dihitung dengan melibatkan biaya yang terkait.
  8. Interkoneksi berbasis biaya hanyalah bagian dari pengaturan interkoneksi ke depan dalam industri yang kompetitif. Pengaturan interkoneksi harus seutuhnya untuk melindungi kepentingan pengguna, meningkatkan efisiensi industri dan menjamin kelanjutan investasi. Pengaturan interkoneksi ke depan juga dimaksudkan agar pasarlah yang benar-benar menentukan pertumbuhan akses layanan telekomunikasi.
  9. Untuk dapat mengawasi dan memberikan keputusan pada setiap tahapan proses dalam mencapai suatu kesepakatan, Ditjen Postel membutuhkan perangkat regulasi yang berfungsi sebagai alat monitoring dan penunjang pengambil keputusan. Perangkat regulasi ini sudah menjadi praktik yang lazim dalam regulasi interkoneksi, sebagaimana diterapkan oleh negara-negara yang telah membuka kompetisi pada sektor telekomunikasi. Standard akuntansi untuk keperluan perhitungan biaya interkoneksi adalah perangkat regulasi yang pertama. Pada dasarnya standard akuntansi ini akan menjadi acuan bagi setiap penyelenggara untuk menentukan sebab akibat biaya yang dapat dicatat dan disertakan dalam perhitungan biaya interkoneksi (posting). Perangkat regulasi ini akan menetapkan ketentuan pengalokasian biaya secara manual melalui kerangka-kerangka biaya yang ditetapkan.
  10. Dari ketentuan pada standard akuntansi, kemudian regulator membutuhkan format pelaporan yang disebut Regulatory Financial Return. Penyelenggara berdasarkan pencatatan biaya yang timbul (posting) yang telah dilakukan dalam menyediakan layanan interkoneksi, akan kembali mencatat ulang berdasarkan format dari pelaporan yang telah disesuaikan dengan model perhitungan biaya interkoneksi berbasis biaya, sebagai pelaporan kepada regulator (reporting) . Pertanyaan yang muncul adalah, sejauh mana regulator dapat memverifikasi pelaporan dari penyelenggara tersebut. Ada beberapa pendekatan yang dapat dilakukan yang semuanya tergantung kepada kemampuan regulator. Pendekatan yang paling mudah adalah Regulatory Financial Return pada tahap awal yang telah disusun berdasarkan permintaan data langsung kepada penyelenggara, dijadikan sebagai toleransi tertinggi terhadap besaran biaya yang dicatatkan, sedangkan besaran biaya dari benchmark secara best practice dijadikan sebagai toleransi terendah. Sejauh mana toleransi oleh regulator merupakan kebijakan yang harus transparan disampaikan oleh regulator. Pendekatan yang lebih sistematis adalah dengan pengujian kesesuaian secara sampling dengan pencatatan dilapangan (buku besar), termasuk penggunaan standard akuntasi oleh penyelenggara.
  11. Demikian jalan panjang yang mewarnai pembahasan intensif tentang interkoneksi. Bahkan dalam rapat dengar pendapat antara Komisi 1 DPR-RI dengan Dirjen Postel beserta Dirut PT Pos, PT Telkom dan PT Indosat secara berturut-turut pada tanggal 6 dan 7 Pebruari 2006, masalah interkoneksi juga sempat dipertanyakan oleh salah seorang anggota DPR-RI. Dan secara kebetulan pula pemerintah memang secara bersamaan sudah pada tahap hanya tinggal ditanda-tangani rancangannya oleh Menteri Komunikasi dan Informatika.

    Kepala Bagian Umum dan Humas,

Gatot S. Dewa Broto

HP: 0811898504

E_mail: gatot_b@postel.go.id; dbroto@yahoo.com

Banner `Layanan Ditjen SDPPI`
Banner `SDPPI Digital Assitant`
Banner `SDPPI Maps`
Banner `IFaS Fest 2023`