Siaran Pers No. 22 /PIH/KOMINFO/2/2014
Tindak Lanjut Kominfo Terhadap Masalah Penyadapan

Sumber ilustrasi: http://sin.stb.s-msn.com/i/5D/719B3642432EFC4EF1FA12B3D5EC6.jpg

(Jakarta, 25 Pebruari 2014). Beberapa hari terakhir ini sejumlah pemberitaan yang menyangkut masalah penyadapan yang dilakukan pihak asing kembali mengemuka, setelah sebelumnya pada akhir bulan Oktober 2013 Indonesia dikejutkan dengan sejumlah pemberitaan tentang tindakan Australia yang terbukti telah melakukan penyadapan terhadap sejumlah pejabat tinggi Pemerintah Indonesia, termasuk penyadapan terhadap Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Nama Indonesia kembali muncul dalam pemberitaan terkait skandal penyadapan oleh Badan Keamanan Nasional (NSA) Amerika Serikat. Isu tersebut dimuat dalam harian The New York Time yang dilansir tanggal 15 Pebruari 2014, yang dibocorkan oleh mantan kontraktor NSA Edward J Snowden. Informasi yang didapat NSA ini berasal dari Direktorat Sinyal Australia (ASD). ASD awalnya, memberitahu NSA bahwa mereka melakukan pemantauan komunikasi termasuk antara pejabat Indonesia dengan firma hukum di Amerika Serikat. Disebut dalam dokumen itu, ASD bersedia berbagi informasi dengan NSA. Terhadap masalah tersebut, Menteri Luar Negeri Marty Natalegawa pada tanggal 17 Pebruari 2014 telah menyatakan sikap kekecewaan Indonesia terhadap Australia.

Terkait dengan masalah tersebut, Kementerian Kominfo menyampaikan sikap sebagai berikut:

  1. Menindaklanjuti pertemuan Menteri Kominfo dengan para penyelenggara telekomunikasi pada tanggal 21 November 2013 terkait isu penyadapan, Kementerian Kominfo merasa hal ini memerlukan sikap serius dalam penanganannya.
  2. Terkait dengan hal tersebut Ditjen PPI (Penyelenggaraan Pos dan Informatika) telah mengadakan rapat pada tanggal 19 Februari 2014 yang dihadiri oleh sejumlah pejabat dari Ditjen PPI, Ditjen Aptika, Staf Khusus Menteri Kominfo/Ketua ID-SIRTII, dan Pusat Informasi dan Humas.
  3. Rapat dimaksud menyepakati usulan pembentukan satuan tugas yang akan mengemban tugas sebagai berikut:
    1. Menelaah laporan hasil self assesment operator telekomunikasi mengenai 7 instruksi pengawasan penyadapan yang telah disampaikan kepada Menteri Kominfo pada kurun waktu 26 – 28 November 2013 secara rinci.
    2. Melakukan verifikasi lapangan terhadap proses bisnis (business process) dan prosedur penyelenggaraan jaringan bergerak seluler pada semua tahap, terutama terhadap penyelenggara dominan.
    3. Menganalisa implikasi hukum dan melakukan penegakan hukum dalam hal ditemukenali adanya pelanggaran.
    4. Menyampaikan laporan secara periodik kepada Menteri berkaitan dengan hasil pelaksanaan di lapangan.
  4. Keanggotaan satuan tugas dimaksud meliputi internal Kementerian Kominfo yang terkait, BRTI, sejumlah pakar Teknologi Informasi/Akademisi dan terutama melibatkan Tim dari Aparat Penegak Hukum yang tergabung dalam Lawful Interception Team.
  5. Masa kerja Satuan Tugas adalah selama 2 Bulan sejak SK Menteri ditandatangani .

Sejumlah langkah tindak lanjut tersebut disampaikan langsung oleh Menteri Kominfo saat menjadi tuan rumah dalam acara breakfast meeting di Kementerian Kominfo yang diadakan pada tanggal 25 Pebruari 2014 pagi. Acara breakfast meeting tersebut dihadiri oleh para pejabat dari KIP, KPI, KPU, MUI, LKBN Antara, penyelenggara pos, telekomunikasi dan penyiaran serta sejumlah pejabat Kementerian Kominfo dan BRTI.

Esensi utama langkah lebih lanjut yang disampaikan Menteri Kominfo tersebut searah dengan penyataan Menteri Luar Negeri Marty Natalegawa dalam jumpa persnya pada tanggal 15 Pebruari 2014 yang sangat menyesalkan tindakan penyadapan yang dilakukan oleh Australia. Sikap sangat keprihatinan dan sangat kecewa yang ditunjukkan oleh Kementerian Kominfo ini selain berdasarkan aspek hubungan diplomatik, juga karena mengacu pada aspek hukum, karena bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, yaitu UU No. 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi dan UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.

Pasal 40 UU Telekomunikasi menyebutkan, bahwa setiap orang dilarang melakukan kegiatan penyadapan atas informasi yang disalurkan melaiui jaringan telekomunikasi dalam bentuk apapun. Demikian pula Pasal 31 ayat UU ITE menyebutkan ayat (1) bahwa setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum melakukan intersepsi atau penyadapan atas informasi elektronik dan / atau dokumen elektronik dalam suatu komputer dan / atau elektronik tertentu milik orang lain; dan ayat (2) bahwa setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum melakukan intersepsi atas transmisi informasi elektronik dan / atau dokumen elektronik yang tidak bersifat publik dari, ke, dan di dalam suatu komputer dan / atau dokumen elektronik tertentu milik orang lain, baik yang tidak menyebabkan perubahan apapun maupun yang menyebabkan adanya perubahan, penghilangan dan / atau penghentian informasi elektronik dan / atau dokumen elektronik yang sedang ditransmisikan.

Memang benar, bahwa dalam batas-batas dan tujuan tertentu, penyadapan dapat dimungkinkan untuk tujuan-tujuan tertentu tetapi itupun berat pesyaratannya dan harus izin pimpinan aparat penegak hukum, sebagaimana disebutkan pada Pasal 42 UU Telekomunikasi menyebutkan (ayat 1), bahwa penyelenggara jasa telekomunikasi wajib merahasiakan informasi yang dikirim dan atau diterima oleh pelanggan jasa telekomunikasi melalui jaringan telekomunikasi dan atau jasa telekomunikasi yang diselenggarakannya; dan ayat (2) bahwa untuk keperluan proses peradilan pidana, penyelenggara jasa telekomunikasi dapat merekam informasi yang dikirim dan atau diterima oleh penyelenggara jasa telekomunikasi serta dapat memberikan informasi yang diperlukan atas: a. permintaan tertulis Jaksa Agung dan atau Kepala Kepolisian Republik Indonesia untuk tindak pidana tertentu; b. permintaan penyidik untuk tindak pidana tertentu sesuai dengan Undang-undang yang berlaku. Demikian pula kemungkinan penyadapan yang dibolehkan dengan syarat yang berat pula yang diatur dalam Pasal 31 ayat (3) UU ITE yang menyebutkan, bahwa kecuali intersepsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), intersepsi yang dilakukan dalam rangka penegakan hukum atas permintaan kepolisian, kejasaan, dan / atau institusi penegak hukum lainnya yang dilakukan berdasarkan undang-undang.

Ancaman pidana terhadap kegiatan penyadapan adalah sebagaimana diatur dalam Pasal 56 UU Telekomunikasi yaitu penjara maksimal 15 tahun penjara dan Pasal 47 UU ITE yaitu penjara maksimal 10 tahun penjara dan atau denda paling banyak Rp 800.000.000,- Kementerian Kominfo sejauh ini berpandangan, bahwa kegiatan penyadapan tersebut belum terbukti dilakukan atas kerjasama dengan penyelenggara telekomunikasi di Indonesia. Namun jika kemudian terbukti berdasarkan hasil kerja Satuan Tugas yang dibentuk oleh Menteri Kominfo tersebut , maka penyeleggara telekomunikasi yang bersangkutan dapat dikenai pidana dan sanksi administratif yang diatur dalam UU Tekomunikasi dan UU ITE.

Sebagaimana diketahui, untuk membuktikan ada tidaknya keterlibatan penyelenggara telekomunikasi, maka Menteri Kominfo Tifatul Sembiring pada tanggal 21 November 2013 siang telah mengadakan rapat khusus dengan seluruh direksi penyelenggara telekomunikasi. Tampak hadir dalam rapat tersebut dari pihak penyelenggara telekomunikasi adalah para direksi dari PT Telkom, PT Telkomsel, PT XL Axiata, PT Indosat, PT Axis Telekom Indonesia, PT H3I, PT Sampoerna Telekom Indonesia, PT Bakrie Telecom, PT Smart Fren dan PT Smart Telecom. Materi utama yang dibahas hanya satu, yaitu laporan dari para penyelenggara telekomunikasi, penyiapan materi penjelasan dan klarifikasi dampak berkembangnya masalah penyadapan oleh Australia terhadap Indonesia, yang harus dijelaskan dari aspek penyelenggaraan telekomunikasi.

Seusai rapat, kemudian diadakan jumpa pers, yang dihadiri oleh lebih dari 130 wartawan. Beberapa hal penting yang perlu diinformasikan dalam jumpa pers yang juga langsung dipimpin oleh Menteri Kominfo tersebut adalah sebagai berikut:

  1. Kepada seluruh direksi penyelenggara telekomunikasi yang hadir, Menteri Kominfo telah meminta laporan secara singkat, padat tetapi sekomprehensif penting mengenai mengenai prosedur dan mekanisme penyadapan yang difasilitasi oleh penyelenggara telekomunikasi.
  2. Dalam laporannya, secara umum mereka menyampaikan beberapa hal sebagai berikut:
    1. Para penyelenggara telekomunikasi hanya memfasilitasi kegiatan penyadapan yang diminta dan dilakukan oleh aparat penegak hukum (APH) dengan prosedur dan mekanime yang sangat ketat sesuai peraturan perundang-undangan yang ada, seperti misalnya pihak APH harus menyampaikan surat permintaan secara tertulis dan ditembuskan kepada Menteri Kominfo, kemudian juga dalam surat tersebut harus jelas objek yang akan disadap dari aspek ancaman hukuman yang akan disangkakan, dan orang / pejabat dari APH yang akan menjadi contact person serta ilatan Nota Kesepahaman yang menjadi dasar penyadapan.
    2. Personil APH yang melakukan penyadapan diawasi secara ketat oleh personil penyelenggara telekomunikasi yang telah ditunjuk.
    3. Kerja sama pernyelenggara telekomunikasi dalam memfasilitasi penyadapan ada yang dengan seluruh kelima APH (Kepolisian, KPK, Kejaksaan, BIN dan BNN), namun ada juga yang dengan beberapa APH tertentu sesuai kebutuhannya.
    4. Para penyelenggara menjamin kerahasiaan data pelanggan.
    5. Seandainya ada permintaan data rekaman yang ada oleh APH, hanya sebatas sampai yang terekam 3 bulan terakhir.
  3. Menteri Kominfo juga menyampaikan informasi, bahwa ITU (International Telecommunication Union) pun sangat concern dengan masalah penyadapan yang tidak sesuai dengan peraturan yang ada tersebut, karena mengganggu perlindungan penggunaan layanan telekomunikasi.
  4. Meskipun laporan penyelenggara telekomunikasi menunjukkan tidak adanya celah yang menjurus pada kemungkinan penggunaan fasilitas jaringan telekomunikasi milik para penyelenggara telekomunikasi untuk kegiatan penyadapan oleh Australia, namun demikian tidak tertutup kemungkinan ada celah-celah lain yang mungkin dilakukan secara langsung oleh pihak-pihak lain yang terkait dengan penyadapan oleh Australia tersebut di luar pengawasan para penyelenggara telekomunikasi. Untuk itu, Menteri Kominfo telah mengeluarkan 7 instruksi yang harus direspon laporannya oleh para penyelenggara telekomunikasi dalam waktu paling lambat 7 hari berikutnya kepada Menteri Kominfo. Instruksi tersebut secara lengkap meminta seluruh penyelenggara telekomunikasi:
    1. Memastikan kembali keamanan jaringan yang digunakan sebagai jalur komunikasi RI-1 dan RI-2 sesuai SOP Pengamanan VVIP.
    2. Memeriksa ulang seluruh sistem keamanan jaringan (umum-evaluasi).
    3. Mengevaluasi outsourcing jaringan (kalau ada) dan memperrketat perjanjian kerjasama.
    4. Memastikan hanya APH yang berwenang melakukan penyadapan: Gate Way KPK, Kepolisian, Kejaksaan, BIN dan BNN.
    5. Memeriksa apakah ada penyusup-penyusup gelap penyadapan oleh oknum swasta ilegal.
    6. Melakukan pengujian (audit) terhadap sistem perangkat lunak yang digunakan apakah ada “back door” atau “bot net” yang dititipkan oleh vendor.
    7. Melakukan pengetatan aturan terkait perlindungan data pelanggan, registrasi, informasi pribadi sebagai modern licensing.

Selang beberapa minggu kemudian, laporan tertulis dari 7 penyelenggara telekomunikasi (PT Telkomsel, PT Indosat, PT XL Axiata, PT Smart Fren, PT Smart Telekom, PT H3I dan PT Axis Telecom) dievaluasi oleh Kementerian Kominfo dan secara umum beberapa point utama laporan para penyelenggara telekomunikasi adalah sebagai berikut:

  1. Semua operator menyatakan bahwa keamanan jaringan untuk jalur komunikasi RI-1 dan RI-2 sudah siap digunakan dan sesuai dengan SOP pengamanan VVIP.
  2. Semua operator menyatakan bahwa sudah memeriksa ulang seluruh sistem keamanan jaringan dan sudah sesuai dengan standar keamanan yang berlaku.
  3. Semua operator menyatakan bahwa sudah mengevaluasi oursourcing jaringan (kalau ada) serta memperketat Perjanjian Kerjasama.
  4. Semua operator menyatakan bahwa sudah memastikan yang berwenang melakukan penyadapan adalah APH .
  5. Semua operator menyatakan bahwa sudah memeriksa bahwa tidak ada penyusup gelap penyadapan oleh oknum swasta ilegal .
  6. Semua operator menyatakan bahwa sudah melakukan pengujian (audit internal dan eksternal) terhadap sistem perangkat lunak yang digunakan dan menyatakan tidak ada “backdoor” atau “botnet” yang dititipkan oleh vendor
  7. Semua operator menyatakan bahwa sudah melakukan pengetatan aturan terkait perlindungan data pelanggan, registrasi, dan informasi pribadi sebagai bagian dari pelaksanaan kewajiban mereka di Modern Licensing.

Sejumlah point penting dari hasil laporan para penyelenggara telekomunikasi inilah yang pada saat ini akan diuji, diverifikasi dan divalidasi oleh Satuan Tugas dari Kementerian Kominfo bersama sejumlah instansi terkait. Kewenangan Kementerian Kominfo ini dimungkinkan karena di Kementerian Kominfo terdapat sejumlah pejabat dan staf yang bersertifikasi keahliannya sebagai PPNS (Penyidik PNS) berdasarkan ketentuan yang ada dalam Pasal 44 UU Telekomunikasi yang menyebutkan:

  1. Selain Penyidik Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia, juga Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu di lingkungan Departemen yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya di bidang telekomunikasi, diberi wewenang khusus sebagai penyidik sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Hukum Acara Pidana untuk melakukan penyidikan tindak pidana di bidang telekomunikasi.
  2. Penyidik Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berwenang:
    1. melakukan pemeriksaan atas kebenaran Iaporan atau keterangan berkenaan dengan tindak pidana di bidang telekomunikasi;
    2. melakukan pemeriksaan terhadap orang dan atau badan hukum yang diduga melakukan tindak pidana di bidang telekomunikasi;
    3. menghentikan penggunaan alat dan atau perangkat telekomunikasi yang menyimpang dari ketentuan yang berlaku;
    4. memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai saksi atau tersangka;
    5. melakukan pemeriksaan alat dan atau perangkat telekomunikasi yang diduga digunakan atau diduga berkaitan dengan tindak pidana di bidang telekomunikasi;
    6. menggeledah tempat yang diduga digunakan untuk melakukan tindak pidana di bidang telekomunikasi;
    7. menyegel dan atau menyita alat dan atau perangkat telekomunikasi yang digunakan atau yang diduga berkaitan dengan tindak pidana di bidang telekomunikasi;
    8. meminta bantuan ahli dalam rangka pelaksanaan tugas penyidikan tindak pidana di bidang telekomunikasi; dan
    9. mengadakan penghentian penyidikan

Keberadaan PPNS tersebut juga terdapat dalam UU ITE, sebagaimana di antaranya disebutkan pada Pasal 43:

  1. Selain Penyidik Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia, Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu di lingkungan Pemerintah yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya di bidang Teknologi Informasi dan Transaksi Elektronik diberi wewenang khusus sebagai penyidik sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang tentang Hukum Acara Pidana untuk mela kukan penyidikan tindak pidana di bidang Teknologi Informasi dan Transaksi Elektronik.
  2. Penyidikan di bidang Teknologi Informasi dan T ransaksi Elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan memperhatikan perlindungan terhadap privasi, kerahasiaan, kelancaran layanan publik, integritas data, atau keutuhan data sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan.
  3. Penggeledahan dan/atau penyitaan terhadap sistem elektronik yang terkait dengan dugaan tindak pidana harus dilakukan atas izin ketua pengadilan negeri setempat.
  4. Dalam melakukan penggeledahan dan/atau penyitaan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), penyidik wajib menjaga terpeliharanya kepentingan pelayanan umum.
  5. Penyidik Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dima ksud pada ayat (1) berwenang:
    1. menerima laporan atau pengaduan dari seseorang tentang adanya tindak pidana berdasarkan ketentuan Undang-Undang ini;
    2. memanggil setiap Orang atau pihak lainnya untuk didengar dan/atau diperiksa sebagai tersangka atau saksi sehubungan dengan adanya dugaan tindak pidana di bidang terkait dengan ketentuan Undang-Undang ini;
    3. melakukan pemeriksaan atas kebenaran laporan atau keterangan berkenaan dengan tindak pidana berdasarkan ketentuan Undang-Undang ini;
    4. melakukan pemeriksaan terhadap Orang dan/atau Badan Usaha yang patut diduga melakukan tindak pidana berdasarkan Undang-Undang ini;
    5. melakukan pemeriksaan terhadap alat dan/atau sa rana yang berkaitan dengan kegiatan Teknologi Informasi yang diduga digunakan untuk melakukan tindak pidana berdasarkan Undang-Undang ini;
    6. melakukan penggeledahan terhadap tempat tertent u yang diduga digunakan sebagai tempat untuk melakukan tindak pidana berdasarkan ketentuan Undang-Undang ini;
    7. melakukan penyegelan dan penyitaan terhadap alat dan atau sarana kegiatan Teknologi Informasi yang diduga digunakan secara menyimpang dari ketentuan Peraturan Perundang- undangan;
    8. meminta bantuan ahli yang diperlukan dalam peny idikan terhadap tindak pidana berdasarkan Undang-Undang ini; dan/atau
    9. mengadakan penghentian penyidikan tindak pidana berdasarkan Undang-Undang ini sesuai dengan ketentuan hukum acara pidana yang berlaku.


      -------

      Kepala Pusat Informasi dan Humas Kementerian Kominfo (Gatot S. Dewa Broto, HP: 0811898504, Email: gatot_b@postel.go.id, Tel/Fax: 021.3504024).


      Sumber ilustrasi: http://sin.stb.s-msn.com/i/5D/719B3642432EFC4EF1FA12B3D5EC6.jpg

Banner `Layanan Ditjen SDPPI`
Banner `SDPPI Digital Assitant`
Banner `SDPPI Maps`
Banner `IFaS Fest 2023`