Siaran Pers No. 223/PIH/KOMINFO/12/2009
Perjalanan Panjang Yang Telah Berlangsung Dalam Pembahasan Rancangan Peraturan Pemerintah Mengenai Tata Cara Intersepsi (Penyadapan)


(Jakarta, 5 Desember 2009). Dalam beberapa hari terakhir ini telah cukup banyak pemberitaan yang terkait dengan masalah penyadapan, khususnya rencana Departemen Kominfo bersama dengan berbagai instansi dan lembaga penegak hukum untuk menyusun Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang Tata Cara Intersepsi. Terhadap berbagai pemberitaan atas rencana penyusunan rancangan regulasi tersebut, Departemen Kominfo mengucapkan terima-kasih kepada berbagai media massa dan nara sumber yang memberikan komentar baik pro maupun kontra terhadap rancangan tersebut. Bagaimanapun juga, fenomena tersebut sangat lazim di era reformasi dan demokrasi saat ini, sehingga memungkinkan semua pihak untuk turut serta berperan aktif dalam mengkritisi dan menyampaikan komentarnya bagi kepentingan penyempurnaan rancangan regulasi tersebut.

Melalui Siaran Pers ini, Departemen Kominfo perlu menyampaikan tanggapan dan klarifikasi guna meminimalisasi kesalah-pahaman seperti tersebut di bawah ini:

  1. Ketentuan yang mengatur tentang penyadapan sesungguhnya sudah ada pada UU No. 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi, khususnya Pasal 40, yang menyebutkan, bahwa setiap orang dilarang melakukan kegiatan penyadapan atas informasi yang disalurkan melalui jaringan telekomunikasi dalam bentuk apapun. Hanya saja, Pasal 42 menyebutkan, khususnya di ayat (2), bahwa untuk proses peradilan pidana, penyelenggara jasa telekomunikasi dapat merekam informasi yang dikirim dan/atau diterima oleh penyelenggara jasa telekomunikasi serta dapat memberikan informasi yang diperlukan atas: a. permintaan tertulis Jaksa Agung dan / atau Kepala Kepolisian Republik indonesia untuk tindak pidana tertentu; b. Permintaan penyidik untuk tindak pidana tertentu sesuai dengan undang-undang yang berlaku. Demikian pula yang disebut pada Pasal 42 ayat (3), Ketentuan mengenai tata cara permintaan dan pemberian rekaman informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

  2. Ketentuan berikutnya tentang penyadapan terdapat pada UU No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Yang tersebut di dalam ketentuan ini adalah mengenai alat bukti, yang tersebut pada Pasal 28 A huruf b yang menyebutkan, bahwa alat bukti yang sah dalam bentuk petunjuk sebagaimana dimaksud dalam Pasal 188 ayat (2) UU No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, khusus untuk tindak pidana korupsi juga dapat diperoleh dari dokumen, yakti setiap rekaman data atau informasi yang dilihat, dibaca dan atau didengar yang dapat dikeluarkan dengan dan atau tanpa bantuan suatu sarana, baik yang tertuang di atas kertas, benda fisik apapun selain kertas, maupun yang terekam secara elektronik, yang berupa tulisan, suara, gambar, pena, rancangan, foto, huruf, tanda, angka, atau perforasi yang memiliki makna.

  3. Ketentuan lain yang menyangkut penyadapan juga terdapat pada UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Pasal 12 ayat (1) huruf a dari UU itu menyebutkan, bahwa dalam melaksanakan tugas penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf c, Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang melakukan penyadapan dan merekam pembicaraan.

  4. Berikutnya adalah ketentuan lain yang masih menyangkut penyadapan, yaitu UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Pasal 31 UU ITE menyebutkan: (1). Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum melakukan intersepsi atau penyadapan atas informasi elektronik dan / atau dokumen elektronik dalam suatu komputer dan atau sistem elektronik tertentu milik orang lain. (2). Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum melakukan intersepsi atas transmisi informasi elektronik dan / atau dokumen elektronik yang tidak bersifat publik dari, ke, dan di dalam suatu komputer dan / atau sistem elektronik tertentu milik orang lain, baik yang tidak menyebabkan perubahan apa pun maupun yang menyebabkan adanya perubahan, penghilangan, dan / atau penghentian informasi elektronik dan / atau dokumen elektronik yang sedang ditansmisikan. (3). Kecuali intersepsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), intersepsi dapat dilakukan dalam rangka penegakan hukum atas permintaan kepolisian, kejaksaan agung, dan / atau institusi penegak hukum lainnya yang ditetapkan berdasarkan undang-undang. (4). Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara intersepsi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan Peraturan Pemerintah. Lebih lanjut Pasal 54 ayat (2) menyebutkan, bahwa Peraturan Pemerintah harus sudah ditetapkan paling lama 2 (dua) tahun setelah diundangkannya Undang-Undang ini. Sebagai informasi, UU ITE disahkan dan diundangkan pada tanggal 21 April 2008.

  5. Dari 4 UU tersebut di atas nampak cukup jelas, bahwa hasil penyadapan dapat menjadi salah satu alat bukti dalam pemberantasan tindak pidana korupsi. Akan tetapi, penyadapan pada dasarnya dilarang keras. Hanya saja dikecualikan untuk penegakan hukum. Prinsip kehati-hatian didasarkan pada kepentingan yang paling besar yang ingin diakomodir dengan adanya ketentuan ini adalah untuk melindungi hak asasi manusia untuk berkomunikasi sebagaimana amanat Pasal 32 UU No 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia terhadap privacy dalam berkomunikasi dan menjaga kepentingan umum terhadap penyelenggaraan telekomunikasi yang baik serta menjaga agar penyadapan dilakukan secara sah ( rahasia, proporsional, relevan, valid dan legitimate ataupun lawful ). Pasal 32 UU HAM berbunyi, "Kemerdekaan dan rahasia dalam hubungan surat-menyurat termasuk hubungan komunikasi melalui sarana elektronik tidak boleh diganggu, kecuali atas perintah hakim atau kekuasaan lain yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan".

  6. Dalam perkembangannya, UU No. 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi sesungguhnya mengamanatkan pembentukan Peraturan Pemerintah untuk mengatur Tata Cara Permintaan dan Pemberian Rekaman Informasi. Kemudian, yang menjadi turunannya adalah bukan berupa PP, tetapi setingkat Peraturan Menteri yitu Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor: 11/PER/M.KOMINFO/2/2006 Tentang Teknis Penyadapan Terhadap Informasi.

  7. Karena adanya UU No. 11 Tahun 2008 tentang ITE, khususnya Pasal 31 ayat 4 yang mengamanatkan pembentukan Peraturan Pemerintah untuk mengatur tata cara intersepsi, maka sejak media bulan Mei 2008 konsentrasi Departemen kominfo di antaranya ditujukan pada langkah awal pembahasan RPP tersebut, yang ditandai-dengan Keputusan Menteri Kominfo untuk membentuk Tim Antar Departemen Bagi Penyusunan RPP tentang Tata Cara Intersepsi. Tim Antar Departemen ini terdiri atas perwakilan dari Departemen Hukum dan HAM, Kementerian Sekretaris Negara, Kejaksaan Agung, Mahkamah Agung, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Polri, Bank Indonesia, Menkopohulkan, Badan Intelijen Negara (BIN), Lembaga Sandi Negara, Akademisi, Komunitas TIK, Penyelenggara Telekomunikasi, dan Pusat Bahasa.

  8. Pada rapat-rapat awal yang digelar mulai Agustus 2008, Tim Antar Departemen sepakat untuk menyatukan RPP tentang Tata Cara Permintaan dan Pemberian Rekaman Informasi (amanat UU Telekomunikasi) dengan RPP tentang Tata Cara Intersepsi (amanat UU ITE) menjadi satu RPP yang diberi judul RPP tentang Tata Cara Intersepsi. Akhirnya, setelah melalui rangkaian rapat yang panjang sejak Agustus 2008, maka pada tanggal 9 September 2009, diadakan Rapat Pleno di Departemen Kominfo, yang dipimpin oleh Menteri Kominfo. Untuk sekedar diketahui, pada beberapa sesi rapat tertentu, pimpinan KPK juga pernah hadir pada rapat tersebut karena bagaimanapun juga KPK merupakan bagian dari Tim Antar Departemen untuk penyusunan RPP tentang Tata Cara Intersepsi ini.

  9. Perkembangan berikutnya, pada tanggal 20 Oktober 2009 Menteri Kominfo menyampaikan Naskah RPP tentang Tata Cara Intersepsi kepada Menteri Hukum dan HAM untuk dilaksanakan proses harmonisasi. Dan selanjutnya, pada tanggal 9 November 2009, Departemen Kominfo bekerjasama dengan Attorney General Department Australia menyelenggarakan Seminar Lawful Interception.

  10. Pada 25 November 2009, Departemen Hukum dan HAM (cq. Direktorat Harmonisasi Ditjen Peraturan Perundang-Undangan) melaksanakan Rapat Harmonisasi dengan mengundang seluruh anggota Tim Antar Departemen dan instansi terkait.

  11. Dari rangkaian pemaparan kronologis di atas (khususnya point 7 s/d. 10), cukup jelas, bahwa RPP tentang Tata Cara Intersepsi bukan baru akhir-akhir ini saja sejak adanya masalah KPK, tetapi sudah sangat lama dimana tingkat kehadiran unsur-unsur berbagai instansi tercatat secara rapi oleh Departemen Kominfo.

  12. Bahwasanya baru akhir-akhir ini RPP tersebut mulai dibicarakan, karena selain waktunya sedang bersamaan dengan masalah pemberantasan korupsi, juga karena memang kini saatnya bagi Departemen Kominfo untuk mulai secara bertahap mensosialisasikan kepada publik tentang progress report pembahasan masalah tersebut. Kini pembahasan belum mencapai tahap final dan masih terbuka kemungkinan nantinya untuk melalui uji publik (konsultasi publik) agar memperoleh tanggapan dari publik. Karena sudah menjadi tradisi di Departemen Kominfo selama ini, bahwa setiap rancangan regulasi apapun bentuknya harus dan wajib diuji publikkan sebelum disahkan, dengan tujuan untuk memperoleh tanggapan. Lebih baik mengalami pembahasan yang dinamis dan kritis serta bahkan ekstrem sekalipun atas suatu rancangan regulasi, dari pada memperoleh resistensi sewaktu sudah disahkan.

  13. Dalam uji publik nanti, Departemen Kominfo akan mengungkapkan secara jelas dan lengkap mengenai seluruh materi yang termaktub di dalam RPP ini.

  14. Sama sekali tidak ada niatan sekalipun bagi Departemen Kominfo untuk melemahkan fungsi KPK dalam penyadapan, karena UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, khusuynya Pasal 12 huruf a seperti disebut pada point 3 tersebut di atas sangat memungkinkan bagi KPK untuk berwenang melakukan penyadapan dan merekam pembicaraan. Bagaimanapun sesuai hirarkiesnya, peraturan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi, artinya RPP ini juga sudah mengetahui adanya UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Bantahan bahwa tidak ada maksud RPP ini untuk melemahkan fungsi KPK telah disampaikan juga oleh Menteri Kominfo Tifatul Sembiring saat menjadi keynote speech dalam acara seminar yang diadakan KPK pada tanggal 3 Desember 2009, yang juga dihadiri oleh Pelaksana Tugas Ketua KPK Tumpak Hatorangan Panggabean.

  15. Bahwasanya pernah ada Keputusan MK yang menyangkut masalah penyadapan saat adanya uji materi terhadap Pasal 12 UU No. 30 Tahun 2002, Departemen Kominfo sangat paham tentang hal tersebut, dimana putusan MK tersebut mengharuskan adanya aturan penyadapan dalam bentuk UU. Namun demikian, di sisi lain amanat Pasal 31 UU No. 11 Tahun 2008 tentang ITE mengharuskan adanya penyusunan PP. Oleh karenanya, Departemen Kominfo tidak jalan sendiri dalam penyusunan RPP ini, karena selain waktunya sudah harus dipenuhi dengan tetap mengutamakan esensi dan kualitas pembahasan, juga Departemen Kominfo tetap membuka diri untuk nantinya jika masalah penyadapan ini disusun dalam tingkat UU. Ini bukan masalah kalah atau menang, tetapi semata-mata untuk kepentingan bersama. Seandainya kemudian ada upaya penyusunan UU tentang Penyadapan pun, sebagaimana diarahkan MK, maka Departemen Kominfo akan mendukung sepenuhnya.

---------------

Kepala Pusat Informasi dan Humas Departemen Kominfo (Gatot S. Dewa Broto; HP: 0811898504; Email: gatot_b@postel.go.id; Tel/Fax: 021.3504024).

Banner `Layanan Ditjen SDPPI`
Banner `SDPPI Digital Assitant`
Banner `SDPPI Maps`
Banner `IFaS Fest 2023`